CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Kategori

Selasa, 12 Mei 2009

WAJAH DUA RAHIM

Pagi terus saja menyeret matahari yang bulat. Cahaya keemasan berpijar makin memanas membungkus tubuh Dewantoro yang tegak menghadap tiang bendera Merah-Putih, persis di tengah halaman sekolah SMP. Tangan kanannya nampak masih bertahan memberi hormat kepada bendera yang terus saja berkibar dengan gagah, bahkan seakan terus mengejeknya. Keringat Dewantoro mulai bergulung berjatuhan dari dahinya yang licin dengan menyimpan rasa malu.
Sampai lima belas menit kemudian, ibu Rahmi, guru wali kelas Dewantoro, menghentikan hukuman atasnya.
“Bagaimana rasanya” tanya ibu Rahmi.
Dewantoro diam.
“Jadi apa yang akan kamu lakukan setelah ini”
“Tidak akan datang terlambat lagi”
“Baik, kamu harus berjanji…”

***

Di kelas, Dewantoro benar-benar tidak dapat berfikir bening. Hatinya nampak sekali remuk meskipun ia begitu berusaha kuat menahannya dalam diam. Bagai tikaman belati merobek perut Dewantoro, setiap pagi ia tak pernah merasakan namanya sarapan nasi. Paling dia hanya dapat makan getuk hasil tanam ubi di belakang pekarangan rumahnya, itupun nasibnya senin-kamis.
Prapti ibunya, selalu memetik daunnya setiap pagi, lantas dijualnya di pasar. Dikumpulkan uang seratus-dua ratus rupiah dengan sabar. Jika habis semua, paling terkumpul uang Rp.10.000 setiap harinya. Namun seringkali kurang dari itu. Tentu saja uang hasil jualan daun ubi dari pekarangan yang tidak luas bagi Prapti sangat tidak bisa diandalkan untuk makan keluarga setiap harinya. Tapi apa boleh buat semua harus dijalaninya.
Kondisi ekonomi bangsa yang terus terpuruk lebih-lebih sejak kasus moneter 1998 memang teramat terasa sekali begitu mencekik bagi keluarga seperti Prapti. Di saat bagi kebanyakan orang coin Rp.500 sudah tidak berharga, tapi tidak bagi Prapti Jangankan untuk berfikir menyekolahkan anak yang biaya sekolah begitu mahalnya, mengusahakan makan sehari-hari saja begitu sulitnya. Apalagi Prapti sebagai orangtua tunggal harus pontang-panting mengidupi keluarga. Sejarah kehidupan Prapti memang sempat tragis. Arjono suaminya telah meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan di pabrik tempat dia bekerja sebagai buruh kasar tujuh tahun silam. Meskipun ada tabungan ganti rugi atas jaminan kecelakaan pekerja dari pihak pabrik, tapi tetap saja itu tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka berdua keseharaiannya.
Dewantoro semakin tidak dapat melihat tulisan pada bukunya dengan jelas, semuanya nampak kabur bahkan pandangan matanya makin gelap, tak tahan langsung dirundukkan kepalanya di atas meja. Semua teman-teman sekelasnya ikut-ikutan terbawa iba dan kasihan. Segera Ani, ketua kelasnya melaporkan kondisi Dewantoro kepada ibu Rahmi.
“Dewantoro sakit ya ? maafkan Ibu yang tadi telah menghukummu. Ibu tidak tahu kalau kamu lagi sakit”
Dewantoro malah semakin tak sanggup menahan tangisnya. Tak ada jawaban satu katapun yang dapat diberikan. Ibu Rahmi pun lantas menganjurkan Dewantoro agar pulang dan istirahat saja di rumah.
***
Sejak kejadian itu Dewantoro sudah tidak lagi masuk sekolah. Kebutuhan ekonomi keluargannya yang sangat sesak menghimpitnya akhirnya mendesaknya untuk berhitung keras mengambil keputusan untuk putus sekolah. Seakarang dia ikut membantu ibunya mencari uang untuk bisa makan kesehariannya dengan mengojek payung di Mall setiap hujan. Namun jika cuaca bagus, Dewantoro menjadi polisi cepek yang ngatur lalu-lintas kendaraan di perempatan jalan di wilayah Perumahan Wibawa Praja. Hasilnya agak lumayan. Terkadang ia bisa makan dan menabung sisanya.
Guru dan teman-temannya pernah membujuk Dewantoro agar tetap sekolah.
Mereka memang begitu sangat perduli.
“Sayang kalau keluar, tinggal satu tahun,” kata mereka.
Bahkan pihak sekolah sudah mencoba menghubungi Prapti, agar Dewantoro tetap sekolah dengan jaminan dibebaskan membayar semua kebutuhan pendidikan, termasuk SPP dan buku-buku. Tapi sekarang Dewantoro sudah terlanjur sibuk di jalan. Penampilannya pun sudah berubah tidak seperti ketika ia masih sekolah. Rambutnya lumayan gondrong dan disemir pink.
Malam makin berselimutkan gelap. Sorot lampu jalan bagai suluh mengiris pori-pori. Dewantoro masih bertahan tegak di tengah jalan menunggu mobil berlalu-lalang. Di mulutnya terselip peluit yang sesekali ditiupnya. Biasanya sekitar pukul 20.00 WIB Dewantoro baru istirahat di warung kopi seberang jalan, sembari menghitung hasil palakan.
Jaja, senior Dewantoro mendekatinya.
“Dapat banyak Toro ?”
“sedikit”
“Mana jatah…”
Dewantoro menyerahkan beberapa lembar ribuan pada Jaja sebagai setoran untuk keberadaan kelompok jalan mereka. Ya, mereka telah memebentuk gang preman untuk menguasai daerah agar tidak diambil yang lain. Naluri seperti itu telah tertanam dengan sendirinya.
“Besok penampilan kamu harus lebih sangar lagi, biar agak macho” kata Jaja menekan.
“Apa hubungannya”
”Kayak kagak tahu aja, biar orang takut ”
“Maksa dong …”
“Di jaman sekarang ini hidup perlu paksaan. Kalau perlu kaca mobilnya digedor”
“Busyeet…pulang ah …”
Menyusul Dewantoro bergegas meninggalkan Jaja. Keduanya saling tos.
“Ok bos, sampai ketemu besok”
Pola pikir Dewantoro memang berubah semenjak ia menemukan lingkungan baru yang tidak mengenal sekolah. Pribadi dasarnya sebenarnya ia anak yang halus dan berbudi. Tapi lingkungan jalanan ternyata cukup tanggung membawanya menjadi manusia yang serba nekat.
***
Pada sebuah rumah gedek yang mungil. Di atas kasur tanpa ranjang, Dewantoro, untuk pertama kalinya menikmati menonton teve hasil dari keringatnya. Tentu saja membuat Prapti semakin sayang dengan anak semata wayangnya itu.
“Makanlah dulu Toro, ibu sudah masakkan lauk kesukaanmu, kalau didiamkan lama nanti basi” kata Prapti.
“Biarlah bu, Toro sudah kenyang, baru saja makan di warung”
“ Itu yang ibu tak suka, setelah kamu bisa mencari uang sendiri, lantas jarang makan di rumah. Padahal ibu juga ingin makan bareng kamu Toro”.
Dewantoro terus saja memainkan remote teve memilih-pilih siaran yang bagus.. Seakan dia tidak mendengar kata-kata ibunya.
Udara semakin dingin dan malam pun semakin gelap. Tapi Dewantoro semakin tidak bisa tidur. Tiba-tiba bayangan wajah bapaknya menelusup dalam ingatannya. Dilihatnya ibunya sudah tertidur pulas. Ditatapnya wajah ibunya yang berkerut, menandakan betapa Prapti sudah mulai tua dan letih. Dewantoro diam-diam memijat-pijat kaki ibunya, hingga membuat Prapti setengah tersadar dari tidur.
“Kamu kok belum tidur Toro?”
“ Belum bu, sudah ibu tidur saja, biar Toro yang memijit kaki ibu”
“Kamu baik sekali Toro…, terima kasih ya..”
Malam mulai mengapung bersama bintang-bintang tampak menghias langit. Namun mata Toro masih belum dapat tidur.
“Kalau saja ada ayah sekarang, tentu ibu tidak seletih sekarang, kasihan sekali ibu” pikirnya.
Perlahan-lahan nampak air mata bergulir dari dua bola matanya yang jantan, menetes di kaki ibunya.
“Pasti ibu sekarang bermimpi indah. Ya Allah lindungilah ibuku, sebagaimana ia selalu menjagaku …., aku tidak ingin melihat ibu sedih ….” Sebait doa Dewantoro begitu tulus yang langsung direbahkan tubuhnya dan tidur di samping ibunya.***




by:Mustaqiem Eska


PS: Bersyukurlah jika hidup jauh lebih baik!

POHON JATI FG TPQ

Pohon jati yang kau tanam di pekarangan rumah pak Ade itu terus tumbuh dengan gagahnya. Daun-daunnya yang melebar sekarang terasa semilir saat berkelebat dielus angin. Aku teringat betul, dulu, saat kau berkenalan pertama kali dengannya, jati itu nyaris hampir mati. Saat itu benar-benar kemarau panjang. Tapi kau punya ketulusan dan keyakinan untuk membuat ia bisa hidup. Diam-diam setiap pagi dan sore kau membelainya dengan cipratan air. Lentikmu lembut. Orang-orang di sekitar rumah pak Ade sering memujimu lewat pak Ade. Maklum waktu itu mereka lebih mengenal pak Ade sebelumnya. Dan pada malam gelap kau pun memupuknya dengan doa, tak ada satu orang pun yang tahu. Bait-bait doamu sangat singkat, “Tuhan, jadikan aku makhlukmu yang bermanfaat’.
Pohon jati itu terus tumbuh dengan suburnya. Kau tak pernah berhenti untuk membuatnya indah. Di bawah rindangnya kau mulai bangun dudukan-dudukan. Dengan sederhana kau rajin mengumpulkan batang bambu kuning yang kau dapatkan dari hasil silaturrahmi dengan teman-temanmu dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung, dengan ogkosmu sendiri. Hingga mereka sekarang mengenalmu sebagai perempuan yang ulet. Hasil karyamu membuahkan hasil. Anak-anak setiap waktu betah bermain di bawahnya. Dan para orang tua pun menilainya sebagai suatu kenyamanan saat mereka berlari-lari di bawahnya. Dari waktu ke waktu pohon jati itu semakin banyak peminatnya, terlebih anak-anak.
Malam, saat keningmu runduk ke tanah, sempat terpikirkan olehmu untuk membuat anak-anak itu bisa belajar dan mengaji.
“Semoga bermanfaat..” doa singkat itu kembali kau ulang.
Pagi nan ranum.Udara terasa bersih. Dunia belum terlalu bising tidak seperti siang hari. Kau bersama pak Ade mulai membuat pengembangan akan keindahan pohon jati itu. Tidak lama setelah itu berdirilah sebuah bangunan Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) tempat mereka bisa belajar al-quran dan membaca.
“Indah sekali TPQ di bawah pohon jati ini ya…, padahal tanah ini dulu terkenal tandus. Berkali-kali banyak orang mencoba mengolahnya, tapi selalu saja mati….” Jelas pak Ade menyemangatimu.
Tetangga pak Ade seperti pak Lamto, pak Syarif dan pak Amin mulai betah menyambangi bangunan TPQ yang kau bangun. Aku melihatnya mereka bisa tertawa ketika melihat anak-anak itu jingkrak-jingkrak sembari melafadzkan kata-kata barunya tentang Asmaul Husna. Sepertinya mereka lupa dengan keletihannya sebagai kerja kantoran. Layaknya pak Ade, dulu mereka juga nyaris tidak percaya kalau pohon jati itu bisa tumbuh. Mereka melihat pohon jati itu mulai bisa menumbuhkan kesadaran tersendiri untuk nilai sebuah perjuangan.
Aku pernah mengingatkanmu, hati-hati dengan niat baikmu. Suatu saat kamu akan diuji oleh Allah dengan kebaikan-kebaikan yang sekarang kamu lakukan. Aku tidak tahu bentuknya seperti apa. Tapi biasanya, setiap kebaikan itu ujiannya adalah kebaikan itu juga, hingga menjadi samar dan membentuk tikungan.
“Apa maksudmu ..” tanyamu waktu itu dengan kebingungan yang sangat.
“Seperti Khidir, aku akan menuntunmu, hingga kau menemukan jawabannya, suatu saat…” kataku.
“Jadi apa yang harus aku lakukan…”
“Bergurulah kepada keteguhan dan ketulusan pohon jati yang telah kau pelihara…, semakin ia tumbuh meninggi, daunnya makin lebat dan akarnya pun menghujam. Tapi pukulan angin itu semakin kencang….”
Kau terus berjalan, sembari menelorkan ide-ide kreatifmu setiap lepas bersetubuh denganku. Tapi aku tak bisa menemanimu dengan terbuka. Wajahku sudah terlalu cukup untuk memenuhi kepuasan hidupku yang selalu tenggelam di bawah samudra.
Satu musim, seiring dengan putik bunga jati luruh menghias halaman TPQ, 2004 santri tumpleg bersenandungkan nada-nada Hadad Alwi dan Sulis. Perlahan wajahmu mulai terlihat dan dikenal oleh banyak orang. Mereka terkagum dengan pohon jati itu. Hingga sejak saat itu, lantas pak Ade melimpahkan banyak tugas kepadamu untuk terus bisa membesarkan TPQ yang berdiri di pekarangannya.
Entahlah, kamu terlalu baik, padahal pak Ade sama sekali tak pernah menitipkan kepadamu sepersen pun uang untuk mengganti ongkosmu untuk keluar masuk kampung di 26 Kecamatan. Padahal kamu siang malam begitu tak mengenal lelah mengenalkan kebesaran TPQ yang kau bangun bersamanya di bawah jati. Dan kamu maklum Itu perjuangan !
“Untuk urusan agama, tabu bicara tentang uang…”
“Ya, tapi itu nanti akan menjadi gesekan tersendiri antara kamu dan pak Ade ketika berjuang…, iblis mudah masuk lewat jalur itu. Iblis bisa memlintir tidak karuan akan kebenaran. Yang benar akan menjadi tidak benar. Sekarang belum terasa. Coba nanti kalau TPQ itu sudah berkembang. Orang akan mempertanyakan langkahmu selama ini. Darimana ongkos yang kamu pakai untuk urusan kesana-kemari kalau bukan dari keuangan TPQ…, nah…”
“Ah kamu melemahkan semangatku untuk berjuang dan belajar menaburkan kemaslahatan…..”
“Tidak. Aku tidak mencoba mempengaruhimu untuk lemah. Bukankah aku pernah bilang. Konsekwensi ketangguhan adalah ketangguhan itu sendiri yang terbalik. Begitu juga dengan ketulusan. Konsekwensinya adalah keikhlasan itu sendiri yang pasti akan dipertanyakan oleh keikhlasan itu sendiri….”
“Kamu mengajariku berpikir muter-muter…., aku tak paham filsafat…!”
“Itu bukan filsafat…, tapi hikmah…”
“Baiklah, aku akan memahaminya sembari berjalan….”
“Ya, itu proses yang benar …” kataku.
Diam-diam, dari bawah samudra, aku membimbingmu untuk menerbitkan majalah. Dengan majalah itu, progam-progam kerja TPQ yang kamu kelola akan mudah diakses oleh banyak orang. Khususnya kalangan pemerintahan seperti Departemen Agama.
“Apa hubungan TPQ dengan penerbitan…?” tanyamu waktu itu.
“Salah satu kekuatan terbesar yang sanggup mengobrak-abrik dan meluruskan dunia adalah media” kataku
“Maksudnya….”
“ Percuma kamu memperjuangkan TPQ secara terbuka kalau kamu tidak bisa mengakses media. Orang-orang batil akan mudah mengalahkan yang haq karena mereka melakukan jaringan organisasi denagan begitu rapi dan profesional, salah satunya alat yang mereka gunakan aadalah media. Jadi kalau menginginkan TPQ yang kamu kelola bisa lebih maju, kamu harus punya gerakan dengan media….”
“Tapi….”
“Tenang saja, saya akan membantumu ….., saya akan menjelma seperti Yusa’ bin Nuh”
“Masya Allah ….!!!”
“Sudah tenang saja, suatu hari kamu akan menemukan jawabannya. Siapa sebenarnya orang-orang yang ada di sekitarmu….”
Benar, pohon jati yang dulu rajin kau siram itu ikut membawa kebesaran TPQ yang berdiri di bawahnya. Ratusan guru TPQ dari kampung dan kota terus beringsut saling berjabat tangan denganmu. Hingga akhirnya Departemen Agama mulai perduli akan keberadaan kalian. Penaka Majapahit, di bawah jati, saat senja menikam, kudengar kau berikrar untuk mempererat persahabatan antar teman-teman TPQ yang lama kau susun dan rangkai membentuk bunga yang berwarna-warni.
Aku sangat paham dengan sepak terjangmu. Kau sudah terbiasa dengan melipat dua tiga kerja sekali jalan. Kau pun begitu akrab dengan nilai sebuah efektifitas waktu. Meskipun nyatanya kulihat kau jarang beristirahat, dan nyaris tak pernah tidur siang. Meskipun dari sudut pandang yang lain cara kerjamu itu rentan dari kontrol dan titik fokus. Namun okelah, aku sangat paham dengan semua itu. Itulah kondisi yang sedang kau hadapi. Apalagi orang-orang seperti pak Ade, pak Lamto, pak Syarif dan pak Amin hanya bisa peduli saat waktu-waktu luangnya. Dan itu tidak setiap waktu. Apalagi mereka itu adalah pemikir. Jadi nyaris 80% yang mereka sumbangkan adalah semata pemikiran untuk perkembangan TPQ. Sementara kamu 100% teori dan 100% praktek. Dari sini sebenarnya untuk roda sebuah kebersamaan nyaris tidak stabil. Tapi apa boleh kata, nyatanya kau pun bisa senang hati dan menikmatinya. Meskipun nyatanya terkadang diam-diam kau pun nyaris bertanya dan merasa lelah. Tapi aku salut, kau tipikal perempuan yang tidak mudah menyerah.
Hari ini, menjelang ulang tahun Departemen Agama. Petinggi penamas yang duduk di jajaran Departemen Agama untuk wilayah Propinsi mengundang forum TPQ yang sudah berhasil kamu rintis bersama pak Ade dan teman-teman. Lantas dengan atas nama bersama kau sepakat forum itu dengan nama Forum Guru (FG) TPQ. Setelah itu Pak Ade kau lihat semakin besar. Pekarangannya semakin melebar ke sebelah Barat, timur, utara dan selatan. Pemerintah mulai memberi konstribusi untuk fg tpq itu lebih berkembang. Untuk mempererat kedekatan fg tpq dengan pemerintah dalam hal ini departemen Agama wilayah Propinsi, untuk niat yang bening aku terpaksa menemanimu larut menjadi air. Bergerak merambat ke Kitri Bhakti membangun perkemahan-perkemahan santri agar ribuan santri bisa saling unjuk kreatifitas dan bernyanyi bersama, sebagai wujud kebesaran fg tpq gagasan kalian. Untuk progam yang satu ini dua bulan persiapan yang aku dan kamu lakukan untuk sosialisasi ke tpq-tpq. Lagi-lagi tanpa dana.
Sekarang aku masuk ke dalam liang keniscayaan. Untung kau dan aku diam-diam kaya. Saatnya kita berguru dengan kehidupan nyata layaknya Muhamad dan Khadijah. Kau dan aku sudah terbiasa menjadi rumput. Dulu sewaktu malang melintang di negeri orang kau dan aku bisa menjadi rumput Kuala Lumpur yang bisa tumbuh tanpa disiram. Bahkan dilempar di tanah manapun, kau dan aku tentu akan tetap hidup tanpa harus manja dengan harta warisan ataupun gaji pemerintah.
“Sekarang saatnya kau akan melihat betapa mereka akan memperlakukan kamu “
“Maksudmu..”
“Pengalaman hidup orang-orang yang mengelilingimu itu rata-rata terlahir untuk pandai berhitung untung rugi. Standar mereka adalah kepastian. Mereka adalah orang kalkulasi. Jadi kalau tidak dengan hitungan yang matang bagaimana sebuah langkah itu berjalan. Sementara hitungan pasti kamu adalah kegigihan dan ketekunan. Aku tahu, sebenarnya kamu punya cara hitungan yang sama dengan mereka, tapi karena metode aljabarmu lebih lebur dengan kondisi alam, nyaris kadang-kadang kamu harus menjadi cacing, kadang menjadi burung, kadang menjadi matahari dan rembulan. Hingga tubuh kamu nyaris sirna di pelupuk mata mereka”
“Lantas apa yang harus aku lakukan ….”
“Ya,.progam sudah berjalan… sekarang jalani saja. Tanyakan nilai bakti kebersamaan mereka sebelum langkah itu semakin jauh. Seberapa jauh kadar nilai juang dan ketulusan mereka”
“Katanya, untuk kemah santri, mereka pada tidak bisa ikut andil. Semua masuk kerja. Dan pak Ade sendiri harus ke China”
“Ya, itu alamat pertama…, percayalah, kita lihat saja”
“Jadi…..”
“Kalau begitu alasan mereka…., jalani saja..lakukan apa yang kau dan aku bisa lakukan. Jangan berharap dengan bantuan mereka dalam hal ini. Itu kan jawaban mereka. Jangan progam yang sudah direncanakan jadi korban”

***

Benar, hari kemah santri nyaris di depan mata. Mereka datang seperti penguasa. Mukanya beram nampak resah karena merasa tidak diajak terlibat. Mereka telah lupa dengan apa yang dikatakan saat konsekwensi sebuah kebersamaan itu diminta. Nyaris. Hari petaka pertama.
“Kamu ingat kata-kataku…, inilah awal wujud kepribadian mereka yang sebenarnya nampak, mereka adalah orang-orang pintar yang pandai berapologi. Dan itu sah. Kamu harus catat itu. Ikuti saja terus cara mereka bertindak. Kamu akan bisa belajar dengan cara-cara mereka yang akan lebih menyakitkan di kemudian hari…., dan itu penting untuk membuat hatimu menjadi lembut dan rendah hati…”
“Tapi inimenyakitkan….”
“Teruskan saja, aku akan terus menjadikannya snapshot dan atsar yang kucatat terus menerus untuk album kehidupan kelak.., dimana anak cucu kita bisa belajar dari kehidupan yang nyata…”
“Tapi….”
“Sudahlah… jangan tapi-tapi….. kau sudah berenang di tengah samudra. Kosongkan pikiranmu dari ketidak cocokkan…, berhentilah ketika saat itu tiba” kataku

***

Spanduk fg tpq seperti bertepuk tangan seiring bayang-bayang matahari yang kian meninggi. Kau memandang bangunan tpq yang tegak di bawah pohon jati kenangan kesabaranmu.
Kau melihat hari itu, teman-temanmu datang dengan begitu bernafsu. Setelah pemerintah memperhatikan dan peduli dengan bangunan itu, bahkan berjanji akan memberikan subsidi untuk jerih payah mereka sebagai guru tpq. Lantas dengan tulus hati kau menuntun mereka menebar ribuan proposal seperti jaring. Sementara kau sendiri tidak mengajukan. Aku lihat kau kali ini bagaikan lilin.
Sore hari, pak Ade tidak berterus terang dengan apa yang didapatkannya dari propinsi bersama pak Amir saat menengokku yang terjatuh dari motor. Aku merasakan semua dengan save batinnya. Biarlah. Itu urusan mereka. Setidaknya, dari sini perlahan-lahan kau mulai bisa masuk ke rumah batinnya yang sesunguhnya. Tidak selamanya kejujuran dapat mengalahkan uang. Inilah saatnya buat kamu untuk belajar teguh menjaga ketulusan yang sudah kau jadikan akar batinmu itu bisa menang melawan kefasiqan.
“Kenapa mereka mulai bersikap tertutup…” tanyamu.
“Saat perjuangan berbau uang, nilai-nilai bisa menjadi intrik”
“Lantas?”
“Sudahlah, jangan berpikir dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Siapa yang menanamkan kebaikan akan tetap berbuah kebaikan. Siapa yang menanamkan benih keburukan hasilnya juga tak jauh beda…, belajarlah dengan ikan yang tak pernah terpengaruh oleh asinnya lautan”.
Selanjutnya, pelan-pelan mereka mulai meninggalkanmu. Sebuah fakta perjuangan saat kamu mengkokohkan pondasi dengan menyulam satu persatu tali silaturahmi kini sudah tergirus oleh debu kebesaran hasilnya. Seperti lebah sekarang mereka ramai berkerumun untuk menghisap madu subsidi yang nilainya tak seberapa. Dan mereka sekarang bergerombol. Sembari bermain belakang diam-diam mereka menyorongkan tubuhmu terus menerus agar tersudut di pojokan. Seperti politik, teman-teman akarabmu pun diam-diam mereka bekali dengan belati untuk bisa menusukmu dari belakang.
Langit memang sudah gelap. Dan sejarah itu nyaris ingin dikubur. Pasal 17 dalam ART adalah apologi mereka. Aku sebenarnya sudah kasihan melihat semua yang terjadi. Tapi biarlah. Sengaja aku biarkan sampai kamu sendiri merasakan betul bahwa pengalaman memperjuangkan keikhlasan, mempertahankan kebenaran, dan rendah budi demi kemaslahatan bersama itu pahit. Di zaman sekarang ini keluhuran itu letaknya di dalam diri.
“Apakah kamu sudah putus asa..” aku mencoba ingin tahu tingkat kepasrahanya.
“Tapi kenapa kamu tak seagresif seperti dulu…”
“Ah, tingkat kemaslahatannya sudah tragis…”
“Maksud kamu…” saya mencoba bertanya.
Tapi kamu hanya bisa diam. Kulihat airmatamu mulai menetes mengaliri pipimu yang bening.
Aku sebenarnya sudah sangat kasihan dengan kamu. Terlalu tangguh kamu berjuang dalam kondisi seperti ini di saat banyak orang tak sanggup.
Aku juga sudah melihat berduyun-duuyun teman-temanmu itu sudah dipersenjatai belati untuk merobek-robek kesejatianmu..
Mereka mulai memlintir-mlintir hal-hal yang kecil untuk menghancurkan reputasimu.
Baru saja aku melihat, bagaimana bu Eti dan bu Uun begitu sangat tidak berdosa membalik-balikkan fakta tentang kisah-kisahmu menjadi jahanam, sementara selama ini mereka hanya bisa membaca kamu dengan samar. Tapi gaya bicaranya seperti merekalah yang melahirkanmu dan membesarkanmu. Kemauannya nyaris kamu harus mengecup rakhimnya di kebesarannya. Dan bahkan berkali-kali mereka meludah setiap menyebut namamu.
“Sekarang, apakah kamu masih berharap dengan pohon jati fg tpq kesayanganmu?”
“Tidak. Aku sudah ikhlas semuanya. Anggap saja semua sudah menjadi mayat” jawabmu.
“Kata-katamu yang terakhir itu masih ada unsur dendam ….” Terangku.
“Astaghfirullah….”
“Sudahlah, tinggalkan saja…”itu saranku yang terakhir kali padamu.
Sejak saat itu sudah dua bulan kau dan aku tak lagi ketemu. Aku harus menyelesaikan tugasku di Pekanbaru sementara kamu konsentrasi mengelola pendidikan di Lampung. Sementara rumah di Tangerang rumputnya sudah meninggi seiring musim hujan yang selalu basah.
Akhir Februari 2009. Kau kirim email padaku.
“Bismillah, aku sudah serahkan semua kepada Allah. Terima kasih ya Allah, engkau telah tunjukkan sisi manusia yang wataknya aneh bin nyata padaku. Lebur antara ngaji dan ghibah. Teguhkanlah imanku. Jauhkanlah hamba darinya. Tsabit qalbi ala dienik wa ala toatik, good by pohon jati fg tpq. Aku ikhlas kehilanganmu”
Kata-katamu menyentuh sekali batinku. Dan aku pun terharu, hingga aku tak sanggup membalas kembali emailmu …...***



by: Mustaqiem

Mimpi pun usai

Djakfar, seorang wartawan muda yang sangat aktif dan sangat menghargai waktu, mestinya memilih pendamping hidup dari kalangan perempuan yang mampu menerimanya apa adanya beserta keidealismeannya dalam menjalankan pekerjaan.
Sayang, jodohnya ternyata wanita yang gemar bermimpi dan selalu berkhayal menjadi orang yang serba berkecukupan dalam kehidupan. Akibatnya, suaminya dipaksa memenuhi keinginan-keinginannya. Tak peduli termasuk pelanggaran kode etik atau bukan. Karena dalam benak sang istri, kode etik wartawan itu untuk suaminya. Bukan untuknya. Maka, tak salah kalau dia melakukan apa yang diperaninya sekarang. Untung sang suami bisa bertahan, meski harus banyak melalap hatinya. Bukan sekadar makan hati.
Terkadang, sambil menulis berita di kantornya, Djakfar sering menggerutu dan berteriak. Setahu teman-temannya itu karena dikejar deadline. Padahal, dia sesungguhnya menyesali mengapa dulu terlalu buru-buru melamar wanita yang baru dikenalnya sekitar lima bulan. Sayang , sekarang semuanya diangapnya telah terlambat. Apalagi, seorang putri telah hadir di tengah mereka.
Yang sering menangis tengah malam saat dia pulang ke rumah. Baru akan memelekkan mata, tangisan putrinya membuatnya terbangun. Setengah terpejam, dia menjawil istrinya agar mengelus kepala sang putri.
Terkadang jawilan itu justru membuat suasana menjadi lain. Karena sesungguhnya tak ada waktu di siang hari untuk bermesraan. Nah, waktu itulah merupakan kesempatan untuk menikmati rasa memiliki istri.
Terkadang pekerjaan belum selesai, sang putri terbangun kembali. Terpaksa pekerjaan suami-istri itu dihentikan terlebih dahulu. Sambil memandang sang istri yang menyusui pewarisnya, Djakfar tersenyum sendiri.
Dan, kenangan pun berlabuh pada masa lalu saat pacaran. Ketika perempuan yang dia nikahi itu masih memiliki pandangan sama dengan dirinya dalam melihat kehidupan rumah tangga. Ketika Djakfar mengajaknya menikah, itu terjadi dua tahun lalu, jurnalis ini sudah menjelaskan bahwa ia berbeda dengan rekan-rekannya yang lain yang tampak lebih mewah kehidupannya.
Ia ceritakan apa-apa yang tidak dia sukai termasuk rekan-rekannya seprofesi yang memanfaatkan kesempatan dari orang-orang yang gila publikasi ataupun mereka-mereka yang punya jabatan dan kekayaan namun takut kalau belangnya diketahui umum.
”Saya tidak bisa menikmati hidup dengan memanfaatkan ketakutan orang-orang. Atau mengambil manfaat dari orang yang ingin dipuji-puji dengan tulisan yang manis-manis dan mampu membubung ke langit,” kata Djakfar. Masih banyak hal yang dijelaskan Djakfar sebelum perempuan itu dia nikahi, dan semuanya diungkapkan agar perempuan itu memahami orang seperti apa yang akan menjadi suaminya kelak. Selain tak mungkin kaya, juga sangat sedikit punya waktu untuk keluarga.
Selayaknya para gadis muda yang selalu terlihat lugu dan terkesan sangat memaklumi Djakfar, perempuan itu mengangguk-angguk. Dari caranya mengangguk, Djakfar menarik kesimpulan bahwa perempuan itu mengerti dan paham kehidupan seperti apa yang akan dilakoni jika menjadi istri seorang wartawan.
Tapi, setelah berjalan dua tahun dan seorang anak hadir di antara mereka, segalanya berubah termasuk cara perempuan itu berpikir dan memandang kehidupan ini. Tiap sebentar ia selalu mengeluhkan perabotan-perabotan yang kurang lengkap dan tidak seperti milik teman-teman seprofesinya suaminya yang lain.
”Soal pekerjaan sama, tetapi perabotannya lebih komplit. Ada tv, kulkas, VCD, handphonenya bagus, sepeda motor, bahkan mobil. Kita apa, makan saja susah,” itu yang kerap menjejali telinga Djakfar.
Mula-mula Djakfar mengingatkan istrinya tentang komitmen mereka saat berpacaran, tetapi istrinya selalu mematahkan kalimat-kalimatnya dengan mengatakan, ”Itu dulu, sekarang lain.” Terkadang ketus, seringkali sedikit manja. Istrinya juga membuat perbandingan-perbandingan sehingga Djakfar sangat terpukul, kecewa, dan tak bisa berkata apa pun.
Perubahan istrinya yang drastis membuat Djakfar tidak bisa menerimanya dan menjadi sangat terpukul, tetapi tidak membuat wartawan itu kehilangan akal sehat. Di luar rumah, dalam menjalankan pekerjaannya, tetap saja sebagai wartawan yang baik dan jujur. Kejujurannya itu sudah diketahui teman-teman seprofesinya, dan mereka menyebutnya sebagai wartawan yang idealis dan tak kenal kompromi. Alias bodoh. Meskipun ia sering mendengar julukan itu ditujukan kepadanya, tidak membuatnya tersinggung karena ia berpikiran sebaliknya, rekan-rekannyalah yang keliru.
Kekeliruan mereka adalah kekeliruan seorang manusia yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran dan mimpi-mimpinya, sehingga semua yang mereka lakukan dikerjakan tanpa memedulikan hati nurani. Sikap seperti itu membuat Djakfar tetap bertahan meskipun rekan-rekan seprofesinya mengucilkannya, memperlakukannya seperti orang yang memiliki banyak kesalahan dalam hidup dan seolah-olah kesalahan-kesalahan itu tidak bisa lagi dimaafkan.
Sungguh, kalau bukan Djakfar, pastilah perlakuan-perlakuan seperti itu sudah lama menimbulkan persoalan besar. Djakfar sadar betul soal itu meskipun tidak pernah mempersoalkannya, dan tetap berlaku seperti biasanya karena ia yakin tidak ada kesalahan dari apa yang pernah dilakukannya selama ia masih berada dalam jalur yang sudah digariskan profesinya. Satu-satunya kesalahan yang disadari betul adalah membiarkan rekan-rekannya menganggapnya selalu melakukan kekeliruan dalam hidup.
Bukan berarti ia tidak pernah berusaha meyakinkan mereka bahwa anggapan mereka itulah yang keliru, tetapi setiap ia berupaya menjelaskan hal itu mereka langsung menunjukkan sikap tidak senang. Tidak jarang mereka langsung marah-marah, mengajak Djakfar berkelahi seperti anak kecil yang cepat naik darah karena mainannya direbut. Kalau sudah begitu, Djakfar biasanya memilih diam, membiarkan seribu caci-maki ditujukan kepadanya. Karena sudah terbiasa, ia tidak akan gampang tersinggung, malah tersenyum lebar sambil mengerjakan pekerjaannya yang tak habis-habisnya. Mengetik di keyboard komputer. Kalau saja menggunakan mesin tik, pastilah tuts huruf akan ditekannya keras-keras.
Karena komputer, ia takut rusak. Kalau rusak, biasanya dibebankan kepada pengguna komputer. Dipotong gaji. Karenanya, dia tetap pelan-pelan menekan huruf dan angka di keyboard komputernya. Pelariannya, cuma sekadar main game sambil maling-maling waktu. Karena main game pun kalau ketahun akan dipersoalkan saat rapat bulanan. Apalagi, kalau saat tiba deadline ternyata masih ada berita yang masih diketik. Kambing hitamnya pastilah karena ada yang sering main game saat jam kerja.
Djakfar tidak pernah berubah. Ia tegar dan kuat mempertahankan prinsip-prinsipnya. Ia tidak memosisikan diri untuk selalu mendukung kerja pemerintah dan menginformasikannya kepada masyarakat. Ia lebih mendengarkan dan memedulikan kepentingan rakyat banyak karena itu memang tuntutan profesinya. Ia lebih banyak melakukan kontrol sosial terhadap segala bentuk penyimpangan.
Kebutuhan anak dan istri terpenuhi, itu lebih dari cukup. Djakfar sadar ia cuma seorang wartawan yang terkadang bisa memperjuangkan orang lain tetapi tidak bias memperjuangkan diri sendiri. Terbukti, banyak rekan-rekannya yang begitu gagah memberitakan kekerasan ataupun penindasan bawahan oleh atasanya, tak mampu membela diri ketika di kantor mendapat perlakuan yang sama dari atasan.
Gaji kecil dan kebutuhan keluarga banyak. Istrinya, karena ia istri seorang wartawan, selalu ingin kelihatan seperti istri seorang pemilik koran.
Ia sudah memakluminya. Istrinya selalu membandingkan isi rumah mereka dengan isi rumah rekan-rekan yang biasanya dikunjungi saat arisan bulanan. Memang, kalau soal jam terbang, Djakfar tidak berbeda dengan rekan-rekannya. Tapi, soal kemewahan, jelas sangat menonjol perbedaannya. Rata-rata kawan-kawan seprofesinya, yang memulai profesinya sama, sudah punya berbagai macam harta benda mewah.
Djakfar tidak bisa seperti itu. Karena dia memang tak sanggup untuk itu. Ketidak-sanggupan inilah yang selalu menjadi alasan istrinya untuk memulai pertengkaran. Tentu saja Djakfar tidak suka istrinya bersikap begitu. Itu sebabnya ia tidak pernah meladeni dan membiarkan saja istrinya mengomel. Terkadang ia pikir, kalau sehari saja tidak mengomel, istrinya merasa belum lengkap sebagai istri. Makanya, ia biarkan saja sampai seluruh kata yang ada di kamus dia keluarkan, sampai ia muntah sekalian.
Djakfar tidak peduli. Ia kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Kalau tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, ia akan mengajak anaknya bercanda meskipun hal ini sering membuat istrinya bertambah marah. Ia akan menarik anak mereka dari tangannya, lalu kembali mengomel yang intinya menyuruh Djakfar keluar rumah melakukan apa saja yang bisa dilakukan agar ada uang tambahan.
Djakfar tidak bodoh, meskipun ia keluar juga akhirnya tapi dia tidak melakukan seperti yang diharapkan istrinya. Dia keluar ya mencari informasi. Lalu ke kantor menulis berita. Dan selama ini memang waktunya sangat padat.
Ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sambilan, takut justru nanti dia kebobolan berita. Media lain dapat berita dia justru tidak dapat. Bisa jadi, selain akan disemporot saat rapat redaksi dia juga bisa-bisa kena sanksi yang beragam. Dan itu sudah dilihatnya dierima rekan-rekannya sekantor.
Sebagai wartawan lapangan, Djakfar sudah ditugaskan di berbagai desk. Pernah di polisi, di rumah sakti, perbankan, pendidikan, kriminal, atau khusus membuat tulisan ringan.
Telah berkeringat darah rasanya dilakukan Djakfar. Dia pun telah beristri dua. Istri pertama, yang selalu ngomel dengan berbagai tuntutan, dan istri kedua adalah profesinya yang menuntut harus siap 24 jam dengan mata dan telinga terbuka maupun kaki dan tangan yang dalam kondisi siap. Dia telah berusaha untuk bersikap adil kepada kedua istrinya itu.
Namun darahnya itu rasanya tak cukup bagi kantornya. Apalagi, semakin hari ternyata, Djakfar seolah lesu darah. Liputan dan laporannya tidak bernas dan menarik lagi. Dari kuantitas, tak memenuhi target. Sampai akhirnya berdasarkan evaluasi terakhir, dia dinyatakan tak layak.
Percuma juga protes. Dengan status karyawan kontrak, akhirnya setelah kontrak terakhir lewat masanya, tak ada kekuatan untuk menahan GM di korannya untuk memutus kontrak.
Djakfar pun sesungguhnya masih bernasib lebih baik. Masih banyak rekannya yang lain ternyata justru bekerja tanpa sehelai kontrak pun. ”Masih mending saya, ternyata ada tiga kontrak kerja yang sempat saya pegang,” ujar Djakfar dalam hati menghibur dirinya dalam perjalanan ke rumah membawa berita pemecatannya.
Kini, tak ada lagi kata konfirmasi, cek dan ricek dalam kesehariannya. Justru yang melakukan konfirmasi adalah pihak kepolisian dan rumah sakit yang menanyakan ke kantor apakah benar sesosok mayat yang ditemukan menjadi korban tabrak lari masih wartawan dari media tersebut. Lalu kantor pun menginformasikan berita itu ke istri Djakfar, sebelum akhirnya berita naas itu pun dibaca banyak orang melalui surat kabar.

NAMAKU TEGAR

Sebuah surat undangan tergeletak di atas meja, kertasnya berwarna kuning: berhias bunga-bunga mawar yang timbul. kesan mewah kertas undangan itu tentu saja akan menggambarkan betapa mewahnya acara yang akan di selenggarakan oleh si-empunya acara yang mengirimkan surat undangan itu.
Halaman depan surat itu tertulis kepada Yth. saudara Tegar aditiya,sedangkan di pojok bawahnya tertanda :Dr. H. bachri, di bawah nama itu tertera pula jabatan si-empunya nama : BUPATI kota X.
Aku terhenyak di kursiku, memikirkan sesuatu !!
***
Apa yang dipikirkan sang surya ketika ia menyinari bumi ini dengan sinarnya yang hangat ?, itu seperti bagaimana kita merelakan sebagaian dari hidup dan hak-hak kita untuk berbagi bersama orang lain. Meniru sifat mentari itulah, kini aku berusaha untuk hidup sebagai seorang yang terlahir dengan nama : Tegar.
Sebuah nama seperti orang-orang tua kita bilang : nama bukan sembarangan.Nama pada akhirnya menjadi sebuah do'a yang akan selalu mengiringi hidup kita di bumi Sang Khaliq ini. sebagian lagi menyebut nama sebagai pembawa keberuntungan : baik bagi si empunya nama atau pun orang lain yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu sangat disayangkan bila orang tua bapak dan ibu kita memberikan sebuah nama dengan tanpa pertimbangan yang rasional
Lalu bila namaku adalah Tegar aditiya, coba katakan padaku :"apa yang kau pikirkan pertama kali ketika mendengar nama ini ?",
Kau bilang :"bila artinya sebuah do'a itu berarti Tegar selalu mendapatkan kekuatan ketika menghadapi berbagai masalah dalam hidupnya, atau mungkin orang tua Tegar ingin agar dia selalu bisa se-kuat Mentari (Aditiya dalam basa jawa:matahari).
Lalu pada akhirnya, di puncak kebingunganmu meramalkan apa arti dan maksud orang tuaku memberikan nama seperti ini, pada sebuah kebuntuan pikiran yang membuatmu semakin muak atau juga penasaran kau bilang : terserah lah !itu adalah namau sendiri , kenapa kau tanya pada saya yang bukan siapa-siapa-mu ini?
lalu pikiranku membimbingku dalam sebuah metafor tentang realita bangsa kita saat ini: betapa masa bodohnya anda dengan orang lain.
Kemudian aku mulai merasa sendirian, di tengah sepiku yang tak berkesudahan tiba-tiba tak ada seorangpun yang bisa ku ajak untuk berbagi. asal kau tahu, keadaan seperti inilah yang sering membuatku merasakan sebuah rasa yang teramat ganjil untuk seorang yang bernama :Tegar .saat seperti itu Aku benar-benar merasa rapuh dan sendirian. tahukah kau ?
***
Akhirnya akupun mulai merasa berat menjalani hidup sebagai seorang Tegar, tapi keadaan di sekelilingku selalu menuntut agar aku selalu bisa menjadi tegar. Kadang kala aku ingin memberontak pada semuanya: pada keadaan yang begitu menjepitku tanpa ampun.Tapi sebuah nama yang terukir ini membuatku terus bertanggung jawab terhadap semuanya, terhadap hidup dan eksistensiku dimata Orang lain .
Aku tak ingin terlihat lemah di mata orang lain, apalagi sampai terlihat begitu membutuhkan orang lain, apalagi sampai bergantung pada orang lain.Aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun, sekalipun kau sering merasa kesepian di tengah hiruk pikuk dunia ini.
Aku baru sadar bahwa pikiranku mulai terbelenggu dengan keadaan yang mengahruskanku menjaga kemurnian arti sebuah nama, bisa kah kau paham tentang hal ini.
Aku tak tahu untuk siapa aku berjuang mempertahankannya :apakah untuk orang tuaku atau untukku sendiri?. yang jelas nama Tegar telah membuatku menjadi seorang yang begitu sibuk dan mengalami hiruk pikuk yang hebat di kala sendirian.
Lalu suatu hari seseorang datang dan memuji sikapku, tak tanggung-tanggung beliau seorang Bupati kota tempat tinggalku.tahukah kau apa yang diucap bupati itu untukku ?
"sebagai seorang Tegar anda telah begitu berhasil dalam menunjukkan ke-Tegar-an anda?"
Aku diam diam bangga , di acara yang dihadiri pejabat-pejabat penting itu , semua mata tertuju padaku : semua orang memperhatikanku.aku semakin dikurung dalam sebuah keterbatasan yang menyesakkan,
"saya tak bisa membayangkan bagaimana nasib yang akan menimpa kantor pendapa ini, jika anda tidak segera bertindak waktu kejadian itu".
Aku tersenyum.
"oleh karena itu kami hendak memberikan sebuah hadiah sekaligus penghargaan kepada anda, terimalah !"
diserahkannya sebuah amplop berisi si-merah, lalu selembar surat dinas yang begitu asing bagiku, aku mengernyitkan dahi tanda tak mengerti.
"ini untuk anda, semua atas jasa-jasa anda. "
lagi-lagi aku tersenyum.
" lagi pula saya rasa sudah waktunya mengganti petugas satpam Pendapa yang rupanya sudah waktunya pensiun itu".
sementara itu di sebuah pojok ruangan seseorang begitu murung, sambil sesekali merenungi nasibnya. dia tidak lain adalah satpam pendapa yang baru saja di pecat sebab keteledorannya.
subuh kemarin hampir saja kantor pendapa di jarah maling, tapi seseorang yang bernama Tegar, telah dengan berani menghantam kening maling-maling itu. sebuah pentungan karatan melelehkan bekas darah yang mengering, menandakan kejadian waktu itu.

Fatimah Si Pemintal dan Tenda

Konon di sebuah kota Timur Jauh hiduplah seorang gadis bernama Fatimah. Ia adalah seorang anak pemintal yang makmur. Suatu hari ayahnya berkata kepadanya, “ Sini anakku, kita akan memulai sebuah perjalanan, karena aku punya urusan dagang di kepulauan Laut Tengah. Mungkin kau akan menemukan seorang pemuda ganteng dalam kondisi yang baik untuk menjadi suamimu.”

Mereka berangkat dan mengarungi pulau demi pulau, sang ayah melakukan perdagangan sementara Fatimah memimpikan seorang suami yang mungkin segera menjadi miliknya. Namun demikian, suatu hari saat mereka sedang dalam perjalanan menuju Krete ketika sebuah badai besar menghantam , dan kapal itu pun pecah. Fatimah setengah sadar, terdampar di sebuah pantai dekat Aleksandria. Ayahnya wafat, dan ia benar-benar menjadi miskin papa.

Ketika ia berjalan-jalan di atas pasir, sebuah keluarga pembuat kain menemukannya. Meskipun mereka miskin , tetap membawa gadis itu ke rumah meraka yang sederhana dan mengajari membuat kain. Jadi itulah kehidupannya yang kedua, dan dalam dua tahun fatimah merasa bahagia dan melupakan penderitaannya. Tetapi suatu hari, ketika ia sedang berada di pantai karena beberapa alasan, sekelompok pedagang budak mendarat dan membawanya, bersama-sama dengan tawanan lain berlayar bersama mereka.

Meskipun ia sangat meratapi nasibnya, Fatimah tidak mendapatkan simpati dari para pedagang budak itu, yang membawanya ke Istanbul dan menjualnya sebagai seorang budak.

Dunianya telah runtuh untuk kedua kalinya. Sekarang beberapa pembeli sudah ada di pasar. Salah satu dari mereka adalah seorang laki-laki yang sedang mencari beberapa budak untuk dipekerjakan di perkebunan kayu miliknya, tempat ia membuat tiang-tiang kapal. Ketika ia melihat kekesalan Fatimah yang malang, ia memutuskan untuk membalinya. Ia berfikir bahwa dengan cara ini,setidaknya, dirinya mungkin dapat memberi Fatimah sebuah kehidupan yang sedikit lebih baik dari pada jika dibeli oleh orang lain.

Ia membawa Fatimah ke rumahnya, yang bermaksud menjadikannya sebagai pembantu rumah tangga untuk istrinya. Tetapi sesampai di rumah, laki-laki itiu mendapati bahwa dirinya telah kehilangan semua uang di sebuah kargo yang dirampas oleh perompak. Ia tidak dapat membayar para pekerja, sehingga dirinya, Fatimah maupun istrinya bekerja keras membuat tiang-tiang kapal.

Fatimah merasa berterima kasih kepada majikannya karena telah menyelamatkannya. Karena bekerja begitu keras dan rajin sehingga laki-laki tersebut memberinya kebebasan, dan Fatimah menjadi pembantu yang terpercaya. Jadi saat itulah ia menjadi sangat bahagia untuk ketiga kalinya.

Suatu hari laki-laki itu berkata kepadanya,” Fatimah, aku ingin kau pergi dengan kargo berisi tiang-tiang kapal itu ke Jawa, sebagai agenku, dan pastikan kau menjualnya dengan untung besar.”

Ia pun berangkat, tetapi ketika kapalnya meninggalkan pantai Cina sebuah topan menghajarnya, dan Fatimah mendapati dirinya lagi-lagi terdampar di sebuah pantai di kepulauan yang asing. Sekali lagi ia meratapi diri, karena merasa bahwa tak satupun hal dalam kehidupannya berjalan sesuai dengan harapannya. Ketika semua tampak berjalan lancar, sesuatu muncul dan menghancurkan semua harapannya.

“Mengapa?” teriaknya, untuk ketiga kaliya,” setiap aku mencoba melakukan sesuatu selalu berakhir dengan duka? Mengapa begitu banyak kemalangan menimpaku?” Tetapi tidak ada jawaban. Maka ia beranjak dari pantai pasir itu, dan mulai berjalan ke pedalaman.

Saat itu di Cina, tak seorang pun pernah mendengar tentang Fatimah ataupun tahu sedikit pun tentang masalah-masalahnya. Tetapi ada sebuah legenda bahwa pada suatu hari pasti akan datang seorang perempuan asing, yang akan mampu membuat sebuah tenda untuk Sang Kaisar. Dan, karena tak seorangpun di Cina bisa membuat tenda, setiap orang berharap prediksi ini akan terwujud, dengan antisipasi yang luar biasa.

Dalam upaya untuk memastikan bahwa orang asing ini, ketika ia datang, tidak akan hilang, secara turun temurun para Kaisar Cina telah mengikuti adapt ini dengan mengirimkan bentara (pembantu kaisar), setahun sekali, ke seluruh pelosok negeri, kota dan desa, yang meminta perempuan asing manapun untuk dihadapkan ke Istana.

Ketika Fatimah memasuki sebuah kota di pantai Cina, itulah awalnya. Orang-orang berbicara kepadanya melalui seorang penerjemah, dan menjelaskan bahwa dirinya harus pergi menemui Sang Kaisar.

“ Nona,” kata Kaisar, ketika Fatimah dibawa ke hadapannya, “bisakah kau membuat sebuah tenda?”
“ Saya kira bisa, Tuan,” kata Fatimah.

Ia meminta seutas tali, tetapi tak seorang pun memilikinya. Maka, ketika ia ingat bahwa dirinya pernah menjadi seorang pemintal, ia pun mengumpulkan batang linen (rami) dan membuat tali. Kemudian meminta kain yang kuat, tapi tak seorang pun di Cina mempunyai apa yang diinginkannya. Maka dengan memanfaatkan pengalamannya bersama dengan para tukang tenun di Aleksandria, ia membuat beberapa lembar kain tenda yang kuat. Kemudian ia mendapati bahwa dirinya membutuhkan beberapa tiang tenda, tetapi tak satu pun tiang di Cina. Maka Fatimah, mengingat-ingat bagaiman ia telah diajari oleh pembuat tiang kapal di Istanbul, dengan menakjubkan ia membuat tiang-tiang tenda yang kuat. Ketika semuanya telah siap, ia memeras otaknya untuk mengingat semua tenda yang pernah dilihatnya sepanjang perjalanan dan akhirnya, jadilah tenda itu.

Ketika kekaguman ini dilihat sang Kaisar Cina, ia menawarkan kepada Fatimah untuk memenuhi segala permintaannya. Fatimah memilih untuk tinggal di Cina, di mana ia menikah dengan seorang pangeran tampan, dan hidup bahagia, dikelilingi oleh anak-anak mereka, sampai akhir hayatnya.

Melalui pertualangan-pertualangan inilah yang membuat Fatimah menyadari bahwa apa yang tampak menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan waktu itu, berubah menjadi bagian penting untuk memenuhi kebutuhan sejati

Jumat, 01 Mei 2009

Hidup adalah Bayangan Kita

Ada sebuah kisah tentang seorang bocah sedang mendaki gunung bersama ayahnya.

Tiba-tiba si bocah tersandung akar pohon dan jatuh. “Aduhh!” jeritannya memecah keheningan suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut, ketika ia mendengar suara di kejauhan menirukan teriakannya persis sama, “Aduhh!”.

Dasar anak-anak, ia berteriak lagi, “Hei! Siapa kau?”
Jawaban yang terdengar, “Hei! Siapa kau?”

Lantaran kesal mengetahui suaranya selalu ditirukan, si anak berseru, “Pengecut kamu!” Lagi-lagi ia terkejut ketika suara dari sana membalasnya dengan umpatan serupa.

Ia bertanya kepada sang ayah, “Apa yang terjadi?”

Dengan penuh kearifan sang ayah tersenyum, “Anakku, coba perhatikan.”

Kemudian Lelaki itu berkata keras, “Saya kagum padamu!”

Suara di kejauhan menjawab, Saya kagum padamu!”

Sekali lagi sang ayah berteriak “Kamu sang juara!”

Suara itu menjawab, “Kamu sang juara!”

Sang bocah sangat keheranan, meski demikian ia tetap belum mengerti. Lalu sang ayah menjelaskan, “Suara itu adalah gema, tapi sesungguhnya itulah kehidupan.” Kehidupan memberi umpan balik atas semua ucapan dan tindakanmu.

Dengan kata lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan kita. Bila kamu ingin mendapatkan lebih banyak cinta di dunia ini, ya ciptakan cinta di dalam hatimu. Bila kamu menginginkan tim kerjamu punya kemampuan tinggi, ya tingkatkan kemampuan itu. Hidup akan memberikan
kembali segala sesuatu yang telah kau berikan kepadanya.

Ingat, hidup bukan sebuah kebetulan tapi sebuah bayangan dirimu.

Cermin seekor Burung

Ketika musim kemarau baru saja mulai. Seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara, mencari udara yang selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.

Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.

Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat menghampirinya. Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau. Dia menghardik si kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut. Si burung pipit semakin marah dan memaki maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.

Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, si burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.

Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si burung, dan tamatlah riwayat si burung pipit ditelan oleh si kucing.

Hmm… tak sulit untuk menarik garis terang dari kisah ini, sesuatu yang acap terjadi dalam kehidupan kita: halaman tetangga tampak selalu lebih hijau; penampilan acap menjadi ukuran; yang buruk acap dianggap bencana dan tak melihat hikmah yang bermain di sebaliknya; dan merasa bangga dengan nikmat yang sekejap. Burung pipit itu adalah cermin yang memantulkan wajah kita…

10 kualitas aspek yang disukai

Ketulusan

Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya “Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak”. Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

Kerendahan Hati

Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendah hatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang
yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa
membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya
tidak merasa minder.

Kesetiaan

Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

Positive Thinking

Orang yang bersikap positif (positive thinking) selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya.

Keceriaan

Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

Bertanggung jawab

Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

Percaya Diri

Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

Kebesaran Jiwa

Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain.
Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa- masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Easy Going

Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.

Empati

Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

Artikel dikutip dari Kartu Pintar produksi Visi Victory Bandung

Sembilan puluh sembilan persen dari semua kegagalan berasal dari orang-orang yang punya kebiasaan berdalih

GEORGE WASHINGTON CARVER
Ahli Kimia yang menemukan lebih dari 325 manfaat kacang tanah

Kalau mau jujur, kita sering menciptakan alasan atas setiap kegagalan dan kesalahan yang kita lakukan. Sebagai contoh, pada waktu kita terlambat ke sekolah atau ke kantor, pikiran kita langsung mencari dan menciptakan alasan. Pikiran kita diarahkan untuk mencari alasan untuk menghindari kesalahan yang kita lakukan. Jika ada sekolah alasan, maka setiap kita mungkin telah mendapatkan gelar doctor bahkan mungkin ada diantara kita sudah mendapatkan gelar professor. Ketika kita dilahirkan tidak ada orang tua yang mengajarkan bagaimana menciptakan alasan atas setiap kesalahan yang kita lakukan.

Kita selalu menciptakan alasan untuk menghindari hukuman atas kesalahan yang kita lakukan. Kita harus pahami, bahwa alasan yang kita ciptakan tidak pernah memberikan perubahan dalam hidup kita.
Alasan adalah penghambat kesuksesan. Setiap alasan yang kita ciptakan atas kegagalan yang terjadi adalah tirai yang ditancapkan untuk membatasi dan memenjarakan kita setiap saat. Saudara dari berdalih adalah sikap mengeluh. Karyawan yang senang membuat alasan, pasti selalu mengeluh dengan gaji yang diterima dan mengeluh dengan kebijakan dan aturan yang ditetapkan perusahaan. Anak yang selalu menciptakan alasan atas kesalahan yang dilakukan, selalu mengeluh dengan keadaan fisiknya, kondisi ekonomi keluarga, fasilitas pendidikannya, dan semuanya.

Banyak orang mengharapkan tubuhnya langsing dan mengharapkan orang lain yang melakukannya untuk dirinya. Mereka mengharapkan orang lain yang berolahraga untuk dirinya, orang lain yang diet makanan lezat untuk dirinya, orang lain yang hidup disiplin untuk dirinya. Sesuatu yang mustahil.

Jika Anda ingin menciptakan kehidupan yang penuh keberhasilan, Anda harus memegang kendali hidup Anda. Mulai sekarang, berhenti berdalih, berhenti mengeluh, berhenti mengeluh atas kekurangan fisik Anda, berhenti mengeluh atas ketidakadilan yang terjadi dalam hidup Anda, berhenti menggunakan alasan mengapa Anda tidak bisa dan belum mendapatkan apa yang Anda impikan sampai saat ini, dan berhenti menyalahkan keadaan di luar diri Anda. Anda harus berjanji pada diri Anda, bahwa mulai saat ini, Anda berhenti melakukan semuanya itu selamanya. Tindakan berhenti menyalahkan adalah tanda bahwa Anda mengasihi diri Anda dan masa depan Anda. Berhenti sejenak (selama 5 menit), tuliskan dan katakan sebanyak 7 (tujuh) kali pada diri Anda kalimat ini: Saya bertanggungjawab atas hidup saya ! Harus ditanamkan dalam benak Anda, bahwa Andalah satu-satunya orang yang bertanggungjawab terhadap hidup Anda.
Kesuksesan adalah keputusan untuk mengubah hambatan menjadi kesempatan untuk meraih sukses. Mungkin salah satu hal yang menghambat Anda untuk meraih sukses karena Anda dipenuhi dengan berbagai macam dalih. Hentikan dalih Anda jika Anda ingin meraih keberhasilan di tahun 2009. Jadikan tahun 2009 sebagai tahun penuh berkat dan pelipatgandaanmujizat, kepercayaan dan keberhasilan.

Januari 2009
Salam,

Pdm. Johny Kilapong, MA
Kupang - NTT