CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Kategori

Sabtu, 12 Desember 2009

Tumbuh sebagai Anak Jalanan, Menjadi Dewasa Bersama Islam

Awal hidupnya ia jalani dengan kekacauan, namun hatinya tidak pernah menolak kebenaran. Akhirnya ia pun menemui makna hidup bersama Islam

Namaku sekarang Abdullah Abdul-Malik, dilahirkan, dibesarkan, dan tinggal di Amerika Serikat. Usiaku 28 tahun. Aku sudah menjadi Muslim selama hampir 5 tahun.

Aku dibesarkan di sebuah lingkungan yang elok di Philadelphia, Pennsylvania. Aku suka bermain sepakbola di waktu kecil. Sebagaimana seorang remaja Amerika, aku senang mendengarkan musik rap dan menonton film-film yang penuh adegan kekerasan. Ketika itu aku yakin bahwa hidup memanglah seperti itu.

Aku menyangka apa yang aku lakukan ketika itu keren, dan memang gaya hidup seperti itulah yang harus dijalani, penuh gairah, dan berbahaya. Oleh sebab itu, aku menjadikan para rapper dan pemain film itu sebagai panutan, dan termakan keyakinan bahwa hidup itu harus menjadi seorang pembangkang terhadap lingkungan.

Sekarang aku tahu bahayanya musik dan televisi terhadap masyarakat kita. Jika kamu tidak memiliki panutan yang positif, maka kamu akan memiliki panutan yang negatif.

Aku terjerumus mengkonsumsi mariyuana, dan mulai menjualnya saat usia remaja. Aku menjalani hidup seperti itu selama masa sekolah menengah hingga kira-kira berusia 23 tahun.

Aku mulai merasa bahwa teman-temanku bukanlah teman yang sebenarnya. Aku menjadi paranoid, tidak tahu siapa yang bisa dipercaya. Jiwaku terasa hampa.

Akhirnya aku bermain dan membuat musik untuk menyalurkan tekanan perasaan yang terpendam di dada.

Hidupku menjadi kehilangan semangat dan terisolasi. Aku mencari-cari jati diri.

Keluargaku kemudian mengalami masalah keuangan, lalu mereka pindah ke Florida. Aku sendiri memutuskan untuk tetap tinggal di Pennsylvania, karena di sanalah aku dibesarkan. Baik atau buruk, Pennsylvania adalah rumah bagiku, dan aku belum siap meninggalkannya.

Aku pindah rumah, tinggal sendiri di sebuah apartemen yang dekat dengan tempat aku dibesarkan. Aku belajar untuk bertahan hidup. Ketika itu rasanya sangat sulit dan kesepian.

Kehidupanku semakin keras saja. Aku mulai berani mengambil kesempatan. Aku berhenti menjual narkoba secara sembunyi-sembunyi, mulai nekat, dan tidak takut apapun.

Aku tidak lagi hanya menjual narkoba kepada orang-orang yang kukenal, bahkan mulai menjualnya kepada orang yang tidak kukenal sama sekali. Aku mulai melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak akan pernah aku lakukan. Begitulah, jika kamu sudah terperosok dalam pada sesuatu, maka kamu akan semakin berani mengambil resiko, dan gaya hidup yang berbahaya sekali pun mulai dirasa nyaman dan bahkan dianggap normal.

Akhirnya akupun terjebak menjual mariyuana kepada seorang polisi yang menyamar pada tahun 2004. Aku kemudian menjalani pemeriksaan. Ketika itu aku merasa ada tekanan yang besar dari sekelilingku.

Aku takut jika harus hidup dalam penjara, karena itu aku berhenti menjual narkoba dan mulai mencari pekerjaan. Saat itulah aku bertemu dengan seorang pria Muslim berusia 50-an tahun. Di tempat bekerja itu aku mulai berbincang-bincang tentang Islam. Aku bertanya kepada orang tua itu, apakah Muslim percaya pada Yesus, karena selama ini yang aku tahu hanyalah Yesus.

Dia bilang, ya. Yesus adalah salah seorang yang mulia dalam pandangan agama, tapi kami mempercayainya sebagai seorang nabi, bukan Tuhan. Ia mengatakan kepadaku bahwa Muslim percaya kepada semua nabi, mulai dari Adam hingga Muhammad. Dan Tuhan itu Esa, tidak ada yang setara dengan-Nya dan menyamai-Nya.

Ketika ia menjelaskan hal itu, aku menerimanya, sepertinya aku sudah pernah merasakannya. Apa yang dikatakannya bisa diterima nalar. Jadi mana mungkin seseorang menolak pernyataan yang sangat kuat dan masuk akal seperti itu?

Oleh karena aku kelihatan tertarik, ia berkata akan memberiku sesuatu.

Saat itu aku merasa bahwa aku harus berubah, dan aku haus akan jawaban. Aku selalu percaya adanya Tuhan, tapi banyak hal yang membingungkanku, dan aku tidak bisa menerima Kristen sebagai sebuah keyakinan yang benar.

Satu malam setelah mengantar orang tua itu pulang kerja, ia memberiku sebuah Al-Qur’an. Kuucapkan terima kasih, dan malam itu pula aku mulai membacanya. Kitab itu seakan berbicara dan menjelaskan semuanya dengan jelas kepadaku. Aku yakin kitab itu benar, dan hanya Tuhan saja yang mampu membuat kitab seperti itu.

Sungguh sangat masuk akal bagiku, dan sekejap ada kedamaian yang kurasakan di dalam hati. Sesuatu yang sepertinya belum pernah aku rasakan.

Merenungkan Makna

Ketika aku berjumpa lagi dengan pak tua keesokan harinya, ia berkata bahwa aku kelihatan sangat jauh berbeda. Aku katakan padanya bahwa kitab itu membuat kita merasa baik, dan hal itu sangat menakjubkan.

Aku tahu bahwa aku senantiasa diawasi oleh polisi. Aku pikir, karena mereka tidak menangkapku, maka mungkin mereka membiarkan hingga aku melakukan sesuatu yang lebih buruk. Banyak detektif yang tidak ingin melakukan penangkapan kecil, biasanya ingin mendapatkan tangkapan yang besar.

Setelah beberapa bulan di bawah pengawasan, beberapa orang detektif tiba-bisa muncul di suatu tempat dan menyergapku. Aku ditahan dengan tuduhan menjual mariyuana dalam jumlah kecil.

Aku kehilangan pekerjaan, dan dipenjara selama beberapa hari sebelum akhirnya keluargaku yang berada di Florida membayar tebusan. Berita itu sungguh menyedihkan hati mereka, dan menimbulkan masalah besar kepada keluargaku.

Para detektif itu mengatakan, mereka tidak benar-benar menginginkan aku, mereka ingin agar aku menolong mereka menjebak orang lain. Tapi aku menampiknya dan memutuskan untuk menjadi lelaki sejati.

Setelah bebas dengan tebusan, aku terus membaca Al-Quran dan merenungkan secara mendalam makna yang dikandungnya.

Pada suatu malam, ketika aku membacanya dalam kegelapan, aku melihat seakan-akan ada cahaya yang memancar dari kitab itu. Aku yakin itu adalah tanda dari Tuhan bahwa kitab itu benar, dan bahwa hidupku akan segera berubah selamanya, dan aku mempunyai tujuan hidup.

Cahaya itu tidak memancar sekejap saja, tapi memancar selama aku membacanya–kurang lebih selama 45 menit. Aku berpikir untuk memberitahukan hal itu pada temanku yang tidur di lantai atas. Tapi aku merasa itu adalah tanda dari Tuhan untukku, dan aku tidak akan merusaknya.

Sebelumnya aku sudah percaya jika kitab itu benar, tetapi ketika aku melihat cahaya itu, keyakinanku berubah selamanya.

Pada akhirnya, aku pun harus masuk penjara. Di sana aku bertemu orang-orang Muslim, yang ternyata merupakan orang-orang terbaik yang pernah aku temui. Orang-orang yang sebenarnya tidak jahat, tetapi hanyalah orang-orang yang terperosok pada situasi yang menyudutkan dan mengambil keputusan yang keliru.

Aku jadi tahu karakter orang muslim: laki-laki kuat yang punya harga diri, rendah hati, penyayang, dan penuh ketaatan. Di dalam penjara itu aku belajar berpuasa, berdoa, shalat dan mengikuti shalat Jumat.

Aku melihat bahwa karakter seorang Muslim itu teguh memegang kebenaran dan tahu bagaimana menjadi pengikut setia Tuhannya. Mereka adalah orang-orang, yang meskipun dalam keadaan tertekan, selalu tabah atas apa yang menimpa diri mereka, tanpa rasa khawatir, dan percaya sepenuhnya kepada Sang Pencipta.

Hidupku seluruhnya diobati, dan jiwaku berubah. Penjara membantuku menjadi bijaksana, dan pikiranku menjadi terang untuk pertama kalinya. Di penjara kamu akan belajar menjadi orang yang berpikir, karena kamu tidak punya apapun kecuali waktu untuk berpikir, merenung. Kamu akan mempertanyakan segalanya, agamamu, keluargamu, teman-temanmu.

Di penjara, berarti kamu berada di tempat yang tidak banyak gangguannya. Sungguh itu sebuah anugerah bagiku.

Aku tahu bahwa aku tidak akan menyukai penjara, tapi aku yakin bahwa itu adalah yang terbaik bagiku.

Di sana kegiatanku hanya membaca, berolahraga, dan mengingat-ingat kembali apa yang telah aku lakukan selama ini, dan apa tujuan hidupku sebenarnya.

Aku menjalani masa kurungan hanya satu tahun lamanya. Setelah keluar, aku pindah ke Florida. Sejak itu aku tinggal di sana.

Aku merasa seperti dilahirkan kembali.

Sekarang, aku sedang mengikuti pendidikan keperawatan, dan berencana untuk keliling dunia membantu orang-orang yang tidak seberuntung aku. Sambil terus menyebarkan pesan agama kebenaran.

Jika kamu pernah melakukan kesalahan, lalu menemukan kebenaran, maka segalanya akan terasa semakin terlihat jelas. Menakjubkan, ketika pertama kali aku belajar hidup sebagai seorang dewasa. Kebenaran datang saat aku membutuhkannya, di saat yang tepat.

Hidupku sebelumnya sungguh kacau. Aku merasa sangat beruntung karena menemukan Islam sebagai jalan benar yang lurus. Jika kamu sudah menemukan agama ini, maka kamu tidak akan ingin kembali kepada keadaan seperti sebelumnya.

Aku pernah hidup di jalanan, kemudian tinggal di penjara, dan akhirnya hidup dalam Islam.

Akhirnya, aku merasakan apa yang telah aku jalani semuanya adalah berharga dan patut. Tanpa semua itu, aku tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah! [di/ri/www.hidayatullah.com]

Permainan Palsu

Pernah suatu hari aku coba melakukan suatu hal yang seharusnya tak kulakukan. Ketika itu aku sedang ingin mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari yang aku miliki saat itu. Sebenarnya sudah ada kata yang berbisik ditelingaku, "sebaiknya ini tak kau lakukan". Aku kemudian berargumentasi dengannya, "kenapa hal ini tak boleh aku lakukan?" Lantas kata di telingakupun menjawabnya pula, "bukankah pak ustad pernah bilang, bahwa sebuah permainan yang hanya mengandalkan untung-ungan itu tidak boleh dilakukan, haram...haram...itu sama dengan judi...haram...haram..." Diucapkannya kata itu berulangkali, sampai akhirnya aku menutup telinga tanda tak mau lagi aku mendengar tutur katanya.

Aku letakkan selembar uang ribuan di satu tanda, saat itu, uang seribuan sangatlah besar harganya, bisa untuk makan beberapa kali di warung pojokan alun-alun. Bahkan sambil minum es teh manis beberapa gelas pula. Tapi seibuan itu akhirnya kuletakkan juga di salah satu tanda, dengan hrapan aku akan mendaatkan enam kali seribuan, yang berarti enam ribu rupiah, begitu pikirku.

Sementara satu orang yang menguasai permainan itu, disebut bandar, masih menunggu orang lain untuk juga ikut bertaruh sama halnya sepertiku. Matanya menengok ke kanan dan kiri, sesekali wjaahnya mendongak kepada orang yang berharap-harap cemas. Matanya terkadang melotot, tak jarang pula, sesekali dia menghardik kepada orang yang ikut bertaruh. Padahal menurut nalarku dia tidak menghardik, tapi hanya memastikan, apakah benar orang yang bertaruh itu sudah meletakkan taruhannya di tanda yang dikehendaki atau masih ingin berubah pikiran. Itu saja nalarku. Tidak lebih dan tidak kurang.

Satu menit berlalu, dua menit menuju. Jantungku berdegup tak menentu. Rasanya sama seperti saat aku kena damprat orang tuaku saat aku terlambat pulang ke rumah setelah bermain seharian diluaran. Dag...Dig...Dug.... Rasa dadaku sesak bagai tertindih bongkahan batu sebesar kerbau. Wuuihh...

Tibalah saatnya bandar itu mengangkat tutup alat permainannya...mataku melotot dan nafasku tertahan di jakun.... Dapat...dapat...dapat...

Ternyata tanda yang keluar tidaklah sama dengan gambar taruhanku. Aku tertunduk lesu, menyesali selembar uang seribuan yang telah melayang berpindah tangan dengan mudahnya. Tidak dijambret, tidak pula dirampok, tidak juga dicopet. Hilang dengan mudahnya dihadapanku.

Kata-kata di telingaku kembali berbisik, kali ini lebih keras lagi, "bukankah sudah aku bilang jangan kau lakukan, itu sama dengan judi, dan judi itu dilarang oleh Allah sebagai perbuatan yang munkar...sekarang kau menyesal bukan?"
Aku tertegun mendengar kata-katanya. Tetapi setengah menit kemudian, aku merogoh sakuku dan kukeluarkan lagi uang seribuan dari dalamnya. Aku berkata dalam hati, "uang seribuan tadi harus kembali lagi kepadaku..." Kuhembuskan nafasku dengan kerasnya, sampai beberapa orang menoleh ke arahku. Ya, uang seribuanku harus kembali lebih banyak lagi. Kemudian kuletakkan uang seribuan ke tanda yang kuinginkan. Perasaanku bercampur antara soto dan rawon, es jeruk dan jus alpukat. Kutunggu beberapa menit dengan kadar keresahanku yang semakin meningkat.

Dua menit kemudian....
Aku memaki dengan keras.... Sontak beberapa orang menatap ke arahku dengan perasaan jengah. Aku memaki tak henti-henti dan kutinggalkan tempat itu dengan pandangan tertunduk lesu. Kugenggam kepalan tangan kiriku. Dan kuhentakkan pula tapak kakiku keras-keras di jalan setapak alun-alun yang temaram. Dengan gundah aku berlalu begitu saja, berjalan menuju arah timur, pulang.

Esok paginya, kebetulan aku lewat sekitaran alun-alun untuk menuju ketempat kerjaku. berjalan kaki saja dan kadang-kadang aku juga sempatkan untuk berhenti sambil menikmati segarnya udara pagi. Kudapati orang-orang yang tadi malam ada di sekitarku saat kupertaruhkan dua lembar uang seribuanku dengan harapan akan kudapatkan enam kalinya. Mereka tertawa-tawa dan kebetulan aku kenali salah satu diantaranya...bandar...yah bandar itu. Suaranya masih kuhafal walau tadi malam aku telah terbaring lesu ditekan penyesalan. Bandar itu berucap, "Orang-orang bodoh...dibohongi mau saja. Tidak mungkin mereka menang dalam permainan kita, mereka tidak tahu kalau kita curangi...." dan masih banyak lagi kata-kata yang membuat telingaku semakin memerah sakit setengah mati.

Ternyata mereka telah curang, orang-orang yagn berkerumun dan sesekali ikut bertaruh adalah kawan-kawannya juga. Aku adalah salah satu korban mereka. Korban dalam permainan palsu yang tanpa mengenal belas kasihan.

Akhirnya aku bisa mulai memahami, bahwa saat kita melakukan suatu perbuatan munkar, maka akan ada penyesalan yang tak terhingga. Semoga kelak kemunkaran ini tak pernah kulakukan lagi. Memang hanya 2 lembar uang seribuan, tapi saat itu bisa menghidupiku selama 10 hari lamanya dengan nasi bungkus di warung pojokan alun-alun.

Astaghfirullahhaladziim...

Kepemimpinan ‘Kritis’

Memimpin kelompok, organisasi, perusahaan, apalagi negara memang tidaklah gampang. Tapi, tidak pula susah. Disebut memimpin berarti ada yang dipimpin. Ada mitra kerja (atau bisa disebut bawahan) yang akan menggalang kebersamaan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.

Jabatan pemimpin adalah sebuah amanah. Apalagi jika yang dipimpinnya adalah organisasi dakwah yang punya cita-cita adiluhung, yakni berupaya melanjutkan kehidupan Islam. Insya Allah hal itu merupakan amal shaleh, tentu saja jika ikhlas melakukannya. Karena memimpin adalah amanah, maka seorang pemimpin tidak berhak menjadikan organisasi yang dipimpinnya sebagai hak milik pribadi, sehingga merasa perlu dan wajib (menurut ukuran diri sendiri) untuk memperlakukan organisasi tersebut sesuai kehendaknya, atau merasa berhak mengorbankan bawahan dengan berlindung atas nama penyelamatan organisasi.

Menjadi pemimpin bukan berarti antikritik. Bukan pula harus merasa benar sendiri. Sehingga anekdot dalam kepemimpinan akhirnya berlaku: 1). Pemimpin tak pernah salah. 2). Jika pemimpin bersalah, kembali kepada pernyataan pertama. Tentu ini sangat menggelikan dan sungguh merupakan kepemimpinan yang �kritis’ (baca: mengkhawatirkan).

Kepemimpinan yang baik memang bukan berarti tanpa cela. Sebagaimana halnya manusia yang bertakwa bukanlah yang selalu benar dalam menjalani kehidupannya, tapi manusia yang bertakwa adalah ketika ia berbuat salah, segera bertaubat. Itu artinya, pemimpin yang baik bukan berarti selalu benar, apalagi merasa benar sendiri. Maka, mendengarkan masukan dari bawahan, adalah hal yang sangat dianjurkan. Karena apa? Karena pemimpin tidak ma’sum. Masih ada celah untuk lupa, termasuk berbuat maksiat. Jadi, ada baiknya mendengarkan masukan, saran, bahkan mungkin juga keluhan dan harapan dari bawahan. Tak ada salahnya bukan?

Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah hikmah yang kamu dengar dari siapa saja, sebab hikmah terkadang diucapkan bukan oleh orang yang bijak. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?� (HR al-Askari)

Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pernah berkata, “Man ahsanal istima’, ta’ajjalal intifa –Siapa yang paling baik mendengarkan, dia akan cepat mendapatkan manfaatâ€?. Beliau juga pernah mengingatkan kita untuk menyimak “isiâ€? pembicaraan dan bukan “siapaâ€? yang berbicara. “Perhatikanlah apa yang dikatakan, dan bukan siapa yang berkata!â€?

Jika sebagai pemimpin menginginkan ketaatan yang kritis (cerdas) dari bawahannya, bukan ketaatan yang �kritis’ (mengkhawatirkan), maka tentunya harus memberikan teladan yang baik kepada bawahan. Bagaimana pun juga, pemimpinlah yang seharusnya dan punya kewajiban memberikan teladan, karena seorang pemimpin lebih mungkin untuk didengar dan dipercayai. Lagi pula, bagaimana mungkin diangkat dan dipilih jadi pemimpin jika tidak bisa dijadikan teladan. Seseorang yang memimpin pasti umumnya lebih baik dari orang kebanyakan. Lebih baik semangatnya, lebih baik ilmunya, lebih baik kesabarannya, lebih baik segalanya.

Seorang pemimpin dikatakan telah gagal dan kepemimpinannya dikategorikan �kritis’ alias mengkhawatirkan adalah ketika seorang pemimpin tak mampu memimpin bawahannya. Bahkan lebih memilih bermusuhan dengan bawahannya yang berbeda sikap dan pendapat dengannya, ketimbang berusaha duduk bersama dan melakukan dengar-pendapat dengan bawahannya yang berseberangan itu. Siapa tahu bisa dicari jalan keluar yang terbaik. Sebab, kita bukan hanya ingin bersama, tapi juga bersatu. Kita juga tidak hanya ingin diangap bilangan, tapi juga diperhitungkan[O. Solihin]

DOA

Dengan hormat
Kepada Allah yang Maha Besar
Ya Allah,Penguasa Bumi Angkasa Raya dan seluruh Jagat. Yang mengatur alur waktu dan hukum alam. Yang mengontrol takdir dan nasib. Yang tak terjangkau logika manusia dan yang terdekat setipis hati dan selembut aliran darah. Yang memberi nasib baik dan nasib buruk. Yang menyediakan akal dan hasrat nafsu kepada manusia. Yang awal dan yang akhir. Penguasa tujuh langit surga dan tujuh lapis neraka serta tujuh hari.
Ya Allah,semua kemuliaan dan kehormatan ditelapak kakikumu. Semua kemasyuran dan kebesaran ditelapak tanganmu. Semua cahaya dan gelap tercipta karenamu. Semua kebudayaan dan sejarah bermula dari rencanamu. Semua tiupan nafas dan hembusan kematian berawal dan berakhir karena keinginanmu. Semua rencana dan keagunganmu terhadap manusia.
Ya Allah, yang pencemburu dan pemarah. Yang menghancurkan juga membangun. Yang merawat dan juga yang memecut. Yang melihat dan campur tangan dalam kehidupan dan kematian. Yang mengasihi juga membenci. Yang mengatur dan juga memporak porandakan. Yang esa juga yang terkecil. Yang manusia juga bukan manusia. Yang dimengerti juga yang tidak diketahui.
Hambamu ini ya Allah yang hina dan berdosa. Yang layak dan tidak layak dihadapanmu berdasarkan kehendakmu. Yang termungil dari yang terkecil. Yang terhina dari yang terbuang. Yang membenci dan melukai sesamanya juga membunuh. Yang berzinah dan mencela durhaka. Yang menghasut juga yang melawan firmanmu. Yang sembunyi dan ketakutan. Yang tersesat dan terhilangkan didebu tanah.
Anakmu ini ya Allah. Meminta dengan doa dari hati dan pikirannya. Memohon dan bertekuk lutut diatas kelemahan dan kerinduan. Menangis karena kesalahan yang tercipta dari diri sendiri. Yang bergantung kepadamu dari belum sampai habis. Yang mengenalmu dan tidak mengenalimu dari lahir sampat mati. Yang mengetahui dan tidak mengetahui keberadaanmu. Yang menyanjungmu dan menyangkalmu.
Ciptaanmu ini ya Allah. Yang tidak setia dan selingkuh. Yang menghujat dan menyembah berhala. Yang buta dan pincang dalam hidup. Yang mencintai dan yang membenci. Yang merasakan kehadiranmu dan yang menolak hukummu. Yang sakit dan sehat diraga dan jiwa. Yang menciptakan baginya dan yang menghancurkan apa yang baginya. Yang menjadikan dan yang memutuskan bagi kepentingan dirinya.
Jika hambamu ini diperkenankan ya Allah. Permintaanku ini ya Allah dikabulkan.

buku harian Parmin

Parmin duduk di depan tokonya. Barang-barang yang baru datang, diangkut oleh beberapa anak buahnya masuk ke dalam gudang. Sambil menghitung dan menge-cek, Parmin memastikan keadaan barang-barang pesanannya utuh dan baik. Sebagai pengusaha furniture dan prabot rumah tangga yang maju, Parmin sangat menjaga sekali kuwalitas barang dagangannya dan memperhatikan kesejahteraan anak buahnya. Rupanya ia tepati janjinya, dulu ketika dia masih menjadi pesuruh di sebuah kantor perusahaan besar. Apa yang pernah ia alami akan menjadi pedoman dalam hidupnya. Anak buahnya begitu senang mempunyai bos seperti Parmin. Dengan sikap Parmin yang pemurah dan ramah membuat anak buahnya bekerja dengan loyal dan bersungguh-sungguh serta tanggung jawab penuh dan semua itu berpengaruh juga dengan hasil kerja mereka. Usaha Parmin semakin berkembang. Setelah merasa barang-barangnya baik Parmin melangkah masuk kedalam ruang kerjanya yang sekaligus sebagai tempat tinggalnya. Buku harian yang lama tak tersentuh diambil dari dalam lemari bajunya, sesaat ia memperhatikan sampulnya yang kusam. Lembar demi lembar dibukanya, sambil duduk di kursi kayu di depan mejanya. Ia terbayang kemasa lalu yang pahit namun indah. Parmin serius membaca kisahnya sendiri, terkadang bibirnya tersenyum, lalu sedih dan terharu.Mei, 2004Jalan hidup memang penuh dengan warna, terkadang putih, mendadak berubah menjadi hitam, begitu pula sebaliknya. Namun, kadang juga bisa berwarna-warni, seperti pelangi, indah dengan banyak warna.Warna kehidupan tergantung bagaimana kita menghendakinya. Sebab semua berawal dari diri kita sendiri. Aku mungkin harus lebih sabar lagi, menghadapi seorang Bos yang hobinya marah-marah, meskipun aku sendiri tidak tahu apa salahku. Terkadang aku merasa tersinggung dengan ucapannya yang sangat menyakitkan hati.“ He kacung!, sini kamu” Bentak Bosku.” Iya Pak, ada apa?”Tanyaku sambil membunkukkan badanku.”Ada apa!, lihat pakai matamu kertas-kertas berantakan seperti itu di mejaku. Rapihkan!”tanganya sambil menengulkan kepalaku, di depan orang ramai, aku hanya menunduk dan mengangguk, dalam hatiku terbesit sejuta luka, dan aku kembali dalam kebingungan,” apa sebenarnya yang salah, mengapa bos harus pakai acara maki-maki?, nyuruh ya nyuruh aja gak usah pakai cacian segala, Ya Allah kuatkanlah hati hamba” Ratap hatiku penuh dengan iba.“ Kamu di sini hanya kacung !, bukan pejabat ?!. apa yang aku katakan kamu harus dengar dan kerjakan “ Ucapnya bengis. Aku ingin bertanya, apa sebenarnya kesalahanku, namun belum bibir ini terbuka ia sudah menghujani aku dengan makian dan cemoohan.Sabtu, Mei ’04 Sebelum subuh, pada saat orang-orang masih terlelap dengan mimpinya, aku sudah bermandi keringat. Dari lantai tiga hingga lantai bawah sudah aku bersihkan, dan selesai jam 07 .00 pagi. Istirahatku hanya waktu sholat. Menyapu, ngepel, hingga mengelap kaca jendela, setiap hari aku kerjakan. Gaji yang aku terima hanya cukup untuk biaya sekolah adikku, aku tidak pernah punya pendapatan lebih dari gaji pokokku. Dua tahun sudah aku jalani pekerjaan ini. Betapa nikmat dan senangnya aku melakukannya. Jika saja pekerjaanku dihargai, tidak usahlah dengan digaji besar. Jangan dimarah-marah saja aku sudah merasakan kebahagiaan tersendiri.“ Inilah ladang ibadah buatku” Ucap hatiku pasrah, sambil mendorong kain pel dari kiri ke kanan, ke depan ke belakang. Sambil bernyanyi lirih menyebut asma Allah.“ Allah Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, mengerti dari setiap ucapan dan langkah, mengetahui dari segala niat di hati “. Aku tidak boleh berlama-lama seperti ini. Setelah adikku lulus dan modalku cukup untuk membuka suatu usaha, aku jadikan pekerjaan ini sebagai tempatku menimba ilmu dari segala pengalaman yang aku alami. Aku akan akhiri pendidikan yang sangat menekan ini. Mudah-mudahan aku lulus menjadi orang yang sabar.Berat memang aku rasakan, namun itu tidak aku jadikan beban, apapun bentuknya ucapan yang ditujukan padaku itu adalah ilmu. Sekarang tinggal aku yang berfikir positif saja, mungkin bos marah-marah padaku karena ia mempunyai masalah dengan relasinya, atau keluarganya atau hal-hal lain. Ya, namanya juga orang penting, wajar kalau punya masalah dimana-mana.Tapi yang aku herankan mengapa harus aku yang menjadi luapan amarahnya?. Ehm!. Aku hanya tersenyum, “Alhamdullialah Ya Allah,” mungkin dengan dijadikannya aku tempat untuk melampiaskan amarahnya, dapat membuat pikiran dan hatinya tenang, walau hanya sesaat. Jika saja dia tahu, obat yang paling mujarab untuk mengobati kegelisahaan yang selalu melandanya itu, pasti ia tidak akan pernah lagi memarahi aku dan menjadikannya sebagai media untuk melepaskan segala unek-uneknya. Hanya kepada Allah seharusnya ia mengadukan segala masalahnya, karena Dia-lah sebaik-baiknya tempat untuk mengadu. Aku juga bisa tenang, senang walau dihina, dicaci dan dimaki itu karena pertolonganNya. Andainya kamu tahu Bos.! Kalau Allah itu Maha Penyayang dan Pengasih, lagi Maha pemberi pentunjuk. Sambil berdendang ria dengan pekerjaanku, azan subuh berkumandang. Aku buru-buru mandi dan melaksanakan kewajibanku yang utama “ Sholat Subuh”. Aku tidak pernah menyesali nasibku dan aku tidak pernah membenci pekerjaanku, walau menjadi pesuruh dan tukang sapu, bagiku inilah yang terbaik. yang diberikan Allah padaku. Apapun pekerjaan itu asal masih dijalanNya aku siap melakukannya.Terkadang aku merasa iri, dengan orang-orang yang bekerja di kantoran, yang sukses dengan usahanya, karena pekerjaan yang mereka lakukan sangat diimpi-impikan oleh kebanyakan orang, salah satunya orang tuaku, mereka mengharapkan aku bekerja di kantoran yang punya koneksi dan gaji tinggi. Ya ! itu lumrah, keinginan dan cita-cita orang-orang, seperti orang tuaku yang selalu hidup dalam garis kemiskinan. Walau pendidikanku tidak juga rendah, tapi aku merasakan kenikmatan tersendiri walau pekerjaanku dianggap rendah oleh orang. Aku senang melakukannya. Mengapa tingginya derajat dunia selalu di ukur dari materi dan jabatan, ya ?. apakah penampilan dan harta yang banyak dapat menjamin manusia itu bahagia?. Ah, itu tergantung dari manusianya dan apakah kemiskinan selalu merasa kesusahan ?, sekali lagi itu tergantung manusianya, cara bersyukurnyalah yang dapat menentukan menurutku.Kemiskinan dan kekurangan memang aku rasakan tapi bukan berarti aku menyesali pada nasib. Kekurangan aku jadikan sebagai alasan untuk berjuang meraih yang lebih baik, dan kekurangan akan selalu ada pada setiap mahkluk. Kemiskinan aku jadikan cambuk untuk lebih memahami dan menghargai hidup. Senin, Mei ’04Jam dinding menjukan Pukul 03.45 menit, hanya beberapa suara ayam berkokok, aku terbangun, aku melihat bulan penuh, bersinar di ujung barat, cerah langit malam ini, bintang bersinar meredup. Aku menatap bulan penuh dengan kebanggaan “Betapa besar Ya Allah KuasaMu”aku tersenyum sambil melangkah menahan kantuk, hatiku berdesir saat aku tatap bulan itu seakan tersenyum melihatku. Lima ekor kalong lewat bersama-sama, seakan menuju arah sinar sang rembulan, mereka hendak pulang, setelah hampir semalaman mereka mencari buah-buahan sebagai nafkahnya. Walau bukan musim buah-buahan namun kalong tetap saja menemukan makanan, oh inilah keadilan dan kasih sayang Allah. Aku duduk sesaat merenungi betapa besar Kasih sayang Allah untuk mahlukNya. Siang tadi aku merasa putus asa, aku takut tidak mendapatkan pekerjaan lagi, kalau aku dipecat nanti. Ucapan bosku kali ini memang susah untuk aku terima, aku memang orang kecil, tapi apakah aku tidak boleh bermimpi menjadi orang besar,? walau hanya mimpi.??!Siang tadi Aku mengajukan permohonan kasbon untuk biaya adikku yang akan ujian seminggu lagi. Gajiku hanya cukup melunasi uang bulananya saja sedangkan uang ujiannya sama besar jumlahnya dengan gajiku bekerja sebulan di sini. Baru dua hari aku gajian, sekarang sudah habis untuk membayar hutang diwarung makan dan biaya sekolah, pikiranku kalut kemana aku harus berhutang. Akhiranya aku nekat untuk meminjam uang pada bendahara.“ Aduh Min, aku tidak bisa memberikan pinjaman, kalau tidak ada surat persetujuan dari Bos.” Ucap wanita itu. “ Jadi aku harus menghadap Bos dulu ?, baru biasa mendapat pinjaman itu, aduh Mbak, aku takut, pasti nanti aku di maki-maki Bos, Mbak tahu kan Bos itu bagaimana?”. Kata ku bingung“ Iya Min, aku tahu dan semua tahu, kalau beliau itu orangnya galak, sombong, pelit dan segala sesuatunya harus teliti, detail serta mempunyai alasan-alasan yang tepat.”“ Bisa nggak ya Mbak, aku dapat uang hari ini, soalnya adikku mau ujian, ini sangat terpaksa Mbak, aku harus berhutang, soalnya tidak ada lagi tempat aku meminjam” Ucapku lirih. Bendahara itu hanya menghela nafas.“ Maaf ya Min, aku tidak bisa membantu kamu, aku sendiri juga banyak kebutuhan”. “ Tidak apa-apa Mbak, kalau begitu aku harus temui bos sekarang, nanti keburu dia pergi, terima kasih ya Mbak,” . Sambil berlalu dari ruangan yang ber AC namun panas itu, aku menuju keruangan bosku. Kebetulan dia ada di dalam dan sedang tidak ada tamu, pelan aku ketuk, lalu ku dorong pintunya, terlihat pria tua botak, gendut melihatku heran. Tidak ada senyum dibibirnya, biasanya jika ada tamu yang datang dia selalu ramah dan menyambutnya dengan pujian dan jilatan kata yang manis madu, tapi terhadapku seakan melihat sampah yang menjijikan, tidak terdengar ucapan apapun, silahkan duduk kek, atau tanya ada perlu apa gitu. Apa mentang-mentang aku ini kacung sehingga tidak ada harganya sama sekali. Aku tersenyum sambil merundukan badanku.“ Maaf Pak, mengganggu sebentar, “ . “ Iya .! ada apa!?”. Belum-belum ucapanya sudah membentak keras aku jadi sedikit gemetaran.“ Begini Pak, saya ada keperluan, adik saya mau ujian, dan biayanya masih kurang, .....” Belum selesai aku mengutarakan maksudku ia sudah berdiri dan mendekati aku dengan mata yang tajam melotot.“ He.., Min! kamu anggap aku ini bapakmu apa..!, kalau tidak punya biaya jangan sok menyekolahkan segala. Kalau tidak mampu jangan sok kaya, he,..! dengar ya, aku menggaji kamu bukan untuk sekolah adikmu, kalau urusan lain itu urusan mu bukan urusanku ngerti !”. Begitu pedih ucapan itu, aku hanya menunduk dan mengutuk dalam hati“ Iya pak tapi saya benar-benar membutuhkannya,tolong saya Pak,...?!, saya tidak tahu lagi pinjam kemana, biarlah bulan depan saya tidak digaji, yang penting adik saya bisa ikut ujian?!”. Aku mengiba, kata-kataku sedikit dipikirkannya, terlihat dari kerut di keningnya.“ Baik !, akan aku buatkan surat bonnya dan bulan depan kamu tidak mendapatkan gaji.” Aku mengangguk cepat, rasa senang dan bahagia begitu aku rasakan, walau bulan depan entah aku akan makan apa, yang penting adikku bisa mengikuti ujian.Buru-buru aku keluar menuju ruang bendahara, sambil membawa selembar surat dari bosku.Tiga lembar uang ratusan ribu aku selipkan dalam saku celanaku.“Akhirnya adikku bisa juga mengikuti ujian kelulusan,” Batinku puas. Rasa bahagia, bangga, sangat aku rasakan.Juni ’04Hari ini akhir bulan, aku benar-benar tidak diberi gaji oleh bosku. Bulan ini tenagaku terkuras penuh. Hutang di warung baru separuh aku bayar. “ Oh Tuhan, Ya..Allah beri hamabamu kesabaran yang tidak terbatas, agar hambamu terhindar dari perbuatan yang Engkau hinakan. “Hari ini, aku harus berpuasa, karena tidak ada lagi uang yang tersisa, mau hutang di warung lagi, aku malu. Hutang ku bulan kemarin belum bisa aku bayar. Mungkin sebulan ini aku harus mencari cara untuk bisa mendapatkan dana seseran.“ Ya Allah Murahkan RezkiMu, Sesungguhnya Engkau Maha Pemurah lagi Maha Kaya Raya.” Hatiku tidak henti-hentinya berdo’a. Hanya pasrah yang aku bisa perbuat. Hari makin sepi aku rasa, yang terus menghibur hanya hinaan dan cacian. Dikerjakan tidak dikerjakan sama saja hasilnya, selalu saja dimarah. Aku mulai berfikir untuk pindah saja dari pekerjaan ini, aku yakin diluar sana masih banyak yang lebih baik “ Kamu tidak pernah pecus bekerja, apa yang kamu kerjakan Min?!”’. Bentak bosku, di tengah-tengah orang ramai. Aku hanya tertunduk, tidak ada yang bisa aku ucapkan, suaranya terlalu keras, sangat menyakitkan.“ He..! dengar ya , Min,! kamu seharusnya bersyukur bisa bekerja di sini, dari pada kamu, lontang lantung tidak karuan. Kamu seharusnya berterima kasih padaku, karena aku bisa kasih kamu kerjaan, coba kamu lihat diluar sana, banyak orang ngantri mencari pekerjaan. Sekarang aku mau tanya, darimana kamu dapatkan uang tambahan itu. Kamu maling ya, apa kamu jual alat-alat yang ada di kantor ini ha !. “. Apa yang hendak aku jawab. Ingin aku jelaskan padanya darimana aku mendapatkan uang tambahan itu. Uang itu aku dapat dari mereka yang menyuruhku memfoto cofy berkas atau menyuruhku membeli rokok diwarung, bahkan ada yang Cuma-cuama memberiku uang, karena mereka kasihan terhadapku. Aku tidak pernah meminta apalagi aku harus mencuri.” Ya Allah cobaan Mu begitu indah aku rasakan, aku semakin tunduk pada KebesaranMu Ya Allah. Lindungilah hamba Mu dari segala fitnahan ini”. Aku hanya bisa menghembuskan nafas berat, aku ingin sekali meninju mukanya yang bengis itu, ingin sekali aku meremas mukanya yang begitu menjijikan itu. Aku bersyukur dan berterima kasih bukan padanya, tapi pada Allah.“ Min..! aku tidak mau melihat mukamu lagi di sini, mulai besok kamu sudah harus pergi dari sini, aku tidak mau mempunyai kacung seorang pencuri..!” Bentaknya sambil menunjuk wajah ku. Aku hanya tertunduk, ingin sekali aku menangis karena malu, ingin sekali aku menendang perut buncit itu, tapi apa gunanya.Aku memang harus pergi dari tempat ini, cukup sudah bekal yang harus aku bawa untuk melangkah kedepan kearah yang lebih baik.Memang tidak nyaman rasanya menjadi bawahan, selalu saja menjadi tempat pelampiasan amarah atasan. Mudah-mudahan jika aku diberi kepercayaan jadi pimpinan aku tidak akan semena-mena terhadap bawahan. Sakit hati ini, jika kita di maki, dimarah tanpa tahu sebab kesalahannya. Apalagi dihina dan difitnah di depan banyak orang.Aku berlalu dari hadapan manusia itu, manusia yang bermuka iblis. Dengan berjuta sakit yang ku bawa, orang-orang memandangku penuh dengan keibaan. Bahkan ada yang menangis. Aku bersyukur, akhirnya aku terlepas juga dari tempat yang aku rasa bagai dipenjara jaman Jepang. Walau tanpa pesangon, aku bersyukur, karena Allah telah menunjukan jalan yang terbaik untukku.Berbekal penderitaan, hinaan, dan serba kekurangan aku jalani hidup ini penuh dengan kesabaran. Aku punya keyakinan, bahwa Allah Maha Adil, Pengasih dan Penyayang.* * * * * *Parmin menghela nafas, ditutup buku harian masa lalunya. Ia sandarkan tubuhnya di kursi kayu matanya berkaca, seakan ia melihat dirinya dimasa lalu, sedang di caci maki bos, sedang mengepel lantai, mengelap kaca, bahkan sedang sedih duduk ditepian jendela, merenung mencari jalan keluar untuk mendapatkan uang agar adiknya bisa terus sekolah.