CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Kategori

Sabtu, 22 Agustus 2009

Mengertilah

Ada seseorang saat melamar kerja, memungut sampah kertas di lantai ke dalam tong sampah, dan hal itu terlihat oleh peng-interview, dan dia mendapatkan pekerjaan tersebut.

Ternyata untuk memperoleh penghargaan sangat mudah, cukup memelihara kebiasaan yang baik.
Ada seorang anak menjadi murid di toko sepeda. Suatu saat ada seseorang yang mengantarkan sepeda rusak untuk diperbaiki di toko tsb. Selain memperbaiki sepeda tsb, si anak ini juga membersihkan sepeda hingga bersih mengkilap. Murid-murid lain menertawakan perbuatannya. Keesokan hari setelah sang empunya sepeda mengambil sepedanya, si adik kecil ditarik/diambil kerja di tempatnya.

Ternyata untuk menjadi orang yang berhasil sangat mudah, cukup punya inisiatif sedikit saja
Seorang anak berkata kepada ibunya: “Ibu hari ini sangat cantik.
Ibu menjawab: “Mengapa?
Anak menjawab: “Karena hari ini ibu sama sekali tidak marah-marah.
Ternyata untuk memiliki kecantikan sangatlah mudah, hanya perlu tidak marah-marah.

Seorang petani menyuruh anaknya setiap hari bekerja giat di sawah.
Temannya berkata: “Tidak perlu menyuruh anakmu bekerja keras, Tanamanmu tetap akan tumbuh dengan subur.
Petani menjawab: “Aku bukan sedang memupuk tanamanku, tapi aku sedang membina anakku.
Ternyata membina seorang anak sangat mudah, cukup membiarkan dia rajin bekerja.

Seorang pelatih bola berkata kepada muridnya: “Jika sebuah bola jatuh ke dalam rerumputan, bagaimana cara mencarinya?
Ada yang menjawab: “Cari mulai dari bagian tengah.” Ada pula yang menjawab: “Cari di rerumputan yang cekung ke dalam.” Dan ada yang menjawab: “Cari di rumput yang paling tinggi. Pelatih memberikan jawaban yang paling tepat: “Setapak demi setapak cari dari ujung rumput sebelah sini hingga ke rumput sebelah sana .
Ternyata jalan menuju keberhasilan sangat gampang, cukup melakukan segala sesuatunya setahap demi setahap secara berurutan, jangan meloncat-loncat.

Katak yang tinggal di sawah berkata kepada katak yang tinggal di pinggir jalan: “Tempatmu terlalu berbahaya, tinggallah denganku.”
Katak di pinggir jalan menjawab: “Aku sudah terbiasa, malas untuk pindah.”
Beberapa hari kemudian katak “sawah” menjenguk katak “pinggir jalan” dan menemukan bahwa si katak sudah mati dilindas mobil yang lewat.
Ternyata sangat mudah menggenggam nasib kita sendiri, cukup hindari kemalasan saja.

Ada segerombolan orang yang berjalan di padang pasir, semua berjalan dengan berat, sangat menderita, hanya satu orang yang berjalan dengan gembira. Ada yang bertanya: “Mengapa engkau begitu santai?”
Dia menjawab sambil tertawa: “Karena barang bawaan saya sedikit.”
Ternyata sangat mudah untuk memperoleh kegembiraan, cukup tidak serakah dan memiliki secukupnya saja

Bocah Kampung Menyibak Langit

by: sikhod

Malam menutup hari, menerangi kegelapan dengan para bintang yang menggantung. Bocah-bocah berusia sekitar sepuluh tahunan bermain dengan riang selepas shalat di mushala kampung. Pakaian bocah-bocah itu lusuh. Bagai mendengar panggilan dari sang bintang, salah seorang dari mereka mendongak melihat langit. Ia gembira menjumpai jutaan bintang di langit kampung pedalaman Sumatera Utara itu. Salah seorang temannya melihat gelagatnya dan ikut menatap ke atas. "Sedang apa kau Tak?" Tanya temannya itu heran. "Aku penasaran dengan bintang-bintang itu! Bisa tidak ya kita kesana?" Bocah yang biasa dipanggil Taki itu menjawab polos. "Ah kau ada-ada saja! Mana bisa kita terbang!" Sahabatnya yang bernama Burhan itu menggelengkan kepala. "Tapi tak bisakah kita menelitinya? Seperti para ilmuwan itu-lah! Menemukan rumus-rumus, atau kendaraan untuk keluar langit!" Taki tersenyum berkhayal. "Ah, mimpimu terlalu tinggi! Ingatlah Tak, kita ini anak orang tak punya! Besok bisa makan pun sudah syukur kurasa! Kasihan umak-ayah kita, jangan kau bebankan dengan mimpimu yang terlalu tinggi itu!" Burhan memperingatkan. Taki menarik kepalanya demi menatap sahabatnya, "Tak bolehkah aku tinggi-tinggi bermimpi! Ah, terserah aku lah, aku yang memikirkan!" Burhan lelah menasihatinya "Terserahmulah!" Ia beranjak meninggalkan teman mainnya itu. Sore itu di kampung yang sama, angin mulai bertiup sejuk, sinar matahari tak lagi menusuk kulit. Selepas mandi bocah-bocah kampung bermain-main lagi. Mereka tak perlu uang untuk menghibur diri mereka. Mereka bisa dengan kreatif bermain memanfaatkan kemurahan alam. Saat kelelahan, Taki menelentangkan diri di tanah. Lagi-lagi ia tertarik melihat langit. Beberapa temannya yang juga kelelahan mengikuti tingkahnya. "Lihat apa kau Tak?" Kali ini, Faiz yang telentang di sebelahnya yang bertanya. "Aku suka melihat langit! Tak tertarikkah kau Faiz? Langit itu misterius, aku ingin menyibaknya, menemukan apa gerangan dibaliknya!" Taki mencurahkan lagi impiannya "Ah aneh kau Tak! Langit mana bisa disibak! Lagipula sudah cukup kurasa guru menjelaskan. Disana ada bulan, matahari dan planet-planet, ah entah apa namanya, tak hapal aku!" Faiz berfikir sederhana. Taki yang memang besar rasa penasarannya tidak setuju. "Ah tak cukup itu buatku! Ingin aku menemukan lebih!" Taki asyik mengamati bentuk gumpalan dan semburat awan, mengilat memantulkan cahaya mentari. "Kau temukan saja bintang jatuh kalau kau bisa! Kau umumkan nanti!" Faiz menyarankan sok tahu, "Tapi kalau kau terkenal, ajak-ajak aku ya!" Imbuhnya. "Ah mana pula bintang bisa jatuh!" Taki menganggap istilah itu konyol. "Tapi sering kudengar orang menyebut istilah bintang jatuh!" Faiz membela diri. "Ah terserahmulah percaya atau tidak! Tapi kau kan tidak punya banyak uang Tak!" Faiz mengomentari. "Lalu?" Taki mengernyitkan alis. "Naik apa pula kau menyibak langit? Harga naik pesawat terbang saja sudah tak terjangkau oleh kita! Asal kau tahu Tak, itu setara uang makan kita lima bulan! Kau tahu itu?" Informasi Faiz sok pintar. "Aku nanti yang akan mencari jalannya, tak akan kubiarkan umak atau ayahku yang mencari uangnya!" Taki tersenyum optimis. "Bagaimana pula caranya, ah bermimpi sajalah kau Tak!" Faiz mulai merasa impian temannya itu konyol. "Kau lihat saja Faiz! Suatu hari nanti wajahku akan muncul di tivi karena bisa menguak langit itu! Kau dengar itu!" Janji Taki Optimis. Delapan belas tahun kemudian peristiwa itu terjawab. Di sebuah gedung yang megah dengan arsitektur yang ditata elegan, semua pihak sibuk menyiapkan sebuah konferensi pers istimewa. Semua yang berlalu lalang terlihat tinggi besar badannya dengan ras Kaukasoid atau Negroid. Semua orang terdengar fasih melafalkan ucapan berbahasa inggris, Tentu saja, inilah Amerika, tempat semua mimpi bisa jadi nyata, juga tempat dimana NASA akan meluncurkan pesawat baru untuk meneliti Mars. Semua orang yang bersiap segera sumringah wajahnya mengetahui serombongan anggota NASA mulai datang menuruni mobil-mobil mewah. Yang menjadi pusat perhatian disini tentu saja mereka yang akan diterbangkan dalam pesawat terbaru itu. Berbagai channel televisi mulai meliput wawancara dengan para astronot yang diberi kepercayaan dalam misi itu. Di sebuah kampung, para warga berkumpul di rumah seorang suami-istri renta, bergembira menyaksikan wawancara itu. Kebanyakan diantaranya remaja dan anak-anak. Terlihat salah seorang reporter tertarik membawa seorang astronot dalam pembicaraannya. Astronot yang ini memiliki ras mongoloid, pemuda yang wajahnya sangat asia. Senyum kemenangan tersungging di wajahnya, tersiar langsung ke seantero antena yang menontonnya. "Anda, Mr Taqiyuddin, kalau tidak salah cuma anda yang berasal dari Asia dalam perjalanan ini ya? Bagaimana komentar anda?" Si Reporter wanita menyodorkan miknya. "Alhamdulillah, iya! Saya bersyukur bisa memenuhi mimpi kecil saya ini atas kerja keras saya!" Wajah asia nan rupawan itu menjawab berwibawa. "Darimana anda berasal?" Si reporter mengkonfirmasi. "Indonesia, sebuah tanah surga di garis khatulistiwa! Tepatnya dari Sumatera Utara!" Pemuda itu menjawab bangga. "Dan karena ini penerbangan pertama anda, apakah keluarga anda ada si sini menyaksikan langsung?" Reporter wanita kembali menyodorkan miknya. "Tidak, sayangnya mereka tidak bisa berpergian jauh karena orangtua saya sudah terlalu tua! Tapi saya yakin mereka menyaksikan saya dari sana!" Ia melambai ke kamera. "Kalau begitu apa ada yang ingin anda ucapkan ke keluarga atau kerabat yang menonton anda?" Reporter itu menawarkan kesempatan. Mata pemuda itu menahan haru, khusus kali ini ia berbicara penuh dengan bahasa indonesia. "Terimakasih umak, ayah! Aku ada di sini berkat do'a dan restu kalian! Do'akan Taqi selama di perjalanan ini! Buat semua anak-anak, khususnya anak Indonesia, jangan takut buat bermimpi sesusah apapun hidup kalian! Karena mimpi ini aku bisa berdiri di sini! Selama kita tidak menyerah meraih mimpi itu, bukan mustahil mimpi itu akan menjadi nyata!" Taqiyuddin mengepalkan tangan, menahan haru yang membuncah mengenang perjalanannya menuju mimpinya yang banyak ditentang dan diremehkan orang. "Oh iya satu lagi!" Tambah Taqiyuddin teringat. "Faiz, Burhan, lihat ini! Benar kan apa yang kubilang dulu! Aku sudah memenuhi janjiku! Jangan lagi kalian meremehkan mimpi siapapun!" Taqi tersenyum menahan tawa geli teringat perkataan kedua sahabatnya itu. "Karena aku sudah membuktikannya, awas kalau kalian tidak menepati janji kalian untuk membelikanku sarung saat aku pulang nanti!"

Jumat, 07 Agustus 2009

SURAT UNTUK KAMU

Ditulis oleh Mustaqiem Eska

Bagai seribu malam yang tengkurap di satu musim, entah kenapa mendadak aku kembali mengingatmu. Sebenarnaya jujur kuakui, aku sudah bertahun-tahun terus melubangi setiap tanah pekarangan rumah membentuk kuburan-kuburan sehingga setiap kenangan itu muncul segera aku melemparnya menuju alam sepi yang lumat dengan batu-batu nisan. Tapi memang terlalu sulit. Kau seperti alam semesta yang terus melakukan metamorphosis. Sehingga beribu-ribu kali aku terus menemukan wajahmu bergerak berubah dari waktu ke waktu, namun sejatinya itu tetap kamu. Di sini, di atas batu kecil ini aku belajar melupakanmu dari waktu ke waktu. Perlahan-lahan aku belajar dengan kerasnya kerikil-kerikil di sekitarku. Begitu tenang ia menjadi tapakan-tapakan sederhana bagi kaki-kaki telanjang.
Dulu pernah kau mengatakan kepadaku, bahwa lebih baik aku melakukan yang kecil karena itu sesungguhnya besar daripada aku melakukan yang besar tapi jika ternyata itu tak bisa merubah apa-apa, katamu. Nyaris aku lantas menjelma menjadi apa saja yang siap bersemayam di derasnya kehidupan. Aku masih ingat betul kenangan kita waktu itu. Saat kita berdua merayap di bawah untuk setiap tanah menjadi rumput. Kau dan aku selalu mengisi ruang-ruang kosong untuk kita tumbuh dan bernafas. Kita bertahan untuk segala musim. Begitu panas datang, kita merasa cukup dengan selimutnya malam dan cipratan embun di setiap paginya, hingga kita bersih dan bening. Ya, kita belajar ketegaran dari bawah dan dari rupa-rupa persenyawaan. Betapa aku pernah bangga bisa melihatmu tertawa dengan terbahak-bahak meski di senja usia itu kau harus kerapkali bergulat dengan sakit. Masih ingatkah kau, bagaimana saat aku memapahmu menuju pembaringan, lantas kau minta aku injak-injak agar tubuhmu dapat segar. Dan aku melakukannya dengan sempurna. Sempurna untuk dua hal, yang pertama aku telah membuat otot-ototmu bisa kendor dan berkeringat. Keduanya, itu kepentingannya untuk diriku sendiri. Setidaknya aku bisa melampiaskan sisa-sisa dendam sakit hatiku dengan menempatkan posisi kegagahanku yang bisa meremukkan semua tulang-tulangmu saat itu, tanpa membuat hatimu terluka. Aku memang akan selalu memanfaatkan sudut-sudut yang terpojok itu menjadi endapan kenikmatan yang seringkali disia-siakan oleh banyak orang.
Masih ingatkah kamu, saat kau menulis surat untukku lewat selembar daun pisang. Betapa perlahan kau mengukir butiran-butiran huruf itu membentuk kata dengan tenang dan sabar. Kalimatmu sangat sigkat, “Jadilah orang yang bermanfaat, jika tidak bisa untuk banyak orang, setidaknya untuk diri sendiri” katamu. Dan aku masih tidak tahu apa sesungguhnya pesanmu yang begitu sulit kueja saat kamu memanggang daun pisang itu dalam kondisi setengah basah setengah kering. Terus aku menyimpannya hingga sekarang di ruang hatiku dengan tersusun rapi. Tapi aku tak pernah berniat untuk membalasnya. Maafkan aku, aku memang terlalu melankolis dalam surat menyurat. Bahkan aku begitu cengeng untuk sebuah penghormatan. Karenanya aku tak mau terlarut begitu jauh dengan urusan diriku sendiri. Aku sudah terbiasa melemparkan diriku di ruang nol yang tidak lagi mengenal untung dan rugi, senang dan susah. Atau dalam kalimatmu, kau pernah terucap dengan menyebutku manusia nol tanpa dosa. Ah, itupun aku tak pernah memperdulikannya. Yang ada di depan bayangan hidupku hanyalah bagaimana aku bisa lebih baik hari ini ketimbang kemarin. Hingga terkadang begitu hati-hatinya aku takut terjerembab ke jalan ketergesa-gesaan, lantas aku diam untuk beberapa saat, semadi, merenungkan langkah-langkah ke depan yang terbaik nantinya. Banyak sekali ronak dan lompatan-lompatan yang harus aku lalui dengan perjuangan dan tekad yang kukuh membaja. Tidak hanya itu, persiapan mental untuk tidak memperdulikan segala gesekan yang melukai perasaanku saat ujian itu tiba menikamku.
Begitu untuk yang kedua kalinya kau kirim surat untukku, aku menjadi lebih bersemangat untuk tidak menemuimu lagi. Hingga terakhir aku katakan padamu, bahwa anggap saja saya sudah mati. Kalaupun suatu saat Tuhan masih saja memepertemukan kita anggap saja itu adalah mayat. Sebenarnya begitulah cara aku menyayangimu. Aku tak kuasa menatap wajahmu. Entahlah, perasaan apa sebenarnya ini, ada pemberontakan kecil yang begitu menyumbat kesadaranku, dan betul-betul aku tak sanggup mengatakannya. Aku sama sekali tak ingin melihat air matamu menderas di hadapanku. Seringkali kau tanpa sengaja, dengan ketulusanmu mengatakan sejuta keluhanmu tentang hidup ini yang begitu berat. Tapi aku justru sangat lemah dan tak sanggup menolongmu. Meskipun ribuan dan jutaan doa setiap malam aku hantar di rumahmu sebagai obat dan ketenanganmu. Dalam gelap aku meraba-raba pintu nuranimu untuk menyusun gejolak batinmu yang tercecer di ribuan tempat. Setelahnya, aku pulang tanpa sepengetahuanmu.
Hari ini, saat aku memaksakan menulis surat untukmu, sebenarnya aku tak sanggup mendengar berita tentangmu semalam. Berpuluh-puluh utusan malaikat itu menemuiku. Mereka membawakan mayatmu untukku. Aku tak percaya dengan semuanya. Tapi mereka memaksa aku untuk melihat wajahmu.
“Mayat ini adalah hadiah untukmu, begitu Tuhan menitipkan kepada kami semua untuk menyerahkannya kepadamu” kata utusan malaikat terdepan.
“Mayat siapa ? saya tidak kenal” jawabku menolak.
“Tuhan tidak pernah salah dalam keputusanNya. Semua terserah kamu” kata malaikat satunya lagi.
“Baiklah…, letakkan saja di amben depan situ” jawabku dengan berat. Benar-benar tak sanggup menolaknya setelah para malaikat itu menyebut kata Tuhan.
Setelahnya, berpuluh-puluh malaikat itu mendadak menghilang. Aku memandangi tajam wajahmu. Perlahan-lahan jasadmu kian mengecil – dan terus mengecil. Lantas menghilang dari pandangan mataku. Aku sangat terkejut dan memastikan untuk meraba amben tempat jasadmu di mana para malaikat itu meletakkanmu. Dan setelahnya aku terbangun. Nyaris aku tak sanggup menerjemahkan mimpiku malam itu tentangmu.
Ya, tentunya surat ini sangat khusus buatmu. Aku campur tintanya dengan minyak misk yang menaburkan keharuman di setiap kata-katanya, agar tidak ada satu kalimat pun yang menyakitimu. Aku harus membuatmu bahagia dan bisa tertawa di sisa-sisa usiamu. Harapanku tidak lain untukmu adalah bagaimana kamu bisa benar-benar mendapatkan hadiah khusnul khatimah dari Tuhan. Meski aku tahu hingga sekarang kau masih menolak hubungan sholat dengan sorga. Itu yang sangat berbeda dengan pikiranku. Bagimu, apalah artinya sholat lima waktu, rajin ke masjid kalau perilaku selalu sarat dengan comberan. Sementara bagiku, justru dengan sholat itu adalah batas sessungguhnya antara orang itu muslim atau tidak. Aku lebih menerima orang berperilaku dosa tetapi masih mau sholat menghadap Tuhan setelahnya. Di sini aku mencoba berfikir positif, semoga…, dan semoga…., sementara kamu langsung klaim dan menghidar.
Setelah surat ini kutulis, aku benar-benar kehilangan alamatmu. Aku telah kehilangan jejakmu yang sempurna. Ratusan dan ribuan sahabat yang pernah mengenalmu pun tak lagi menyimpan keberadaanmu. Hanya sisa-sisa pikiranmu yang terus menyelip di pikiran-pikiran mereka, termasuk aku.
“Dimana aku harus mengalamatkan surat yang kutulis khusus buatmu?” pertanyaanku menggantung di sudut waktu.
Akhirnya, berbulan-bulan aku masih menggenggam surat untukmu. Bertambah hari hingga berganti tahun, surat itu masih tertahan di laci meja kerjaku. Aku tetap berharap kau bisa membacanya. Tapi kapan aku tak tahu. Alamatmu belum juga aku temukan. Entahlah…, sepertinya kau benar-benar menghilang.
“Apakah, kau yang ada dalam mimpiku?”
Tak ada jawaban. Hingga surat itupun ikut menghilang. Entah di mana. Aku tak tahu.***

BEREBUT BUMI PILIHAN

Ditulis oleh Mustaqiem Eska

Secara perlahan-lahan bumi terus-terusan dikapling-kapling oleh manusia. Sejak Adam hingga sekarang entah kapan proses pengkaplingan akan bumi itu berakhir, nyaris tak ada yang bisa menduga. Tuhan memang Super Maha Tangguh untuk menciptakan bumi dengan desain yang sangat Maha Luar biasa. Bahkan tidak ada setitik partikel sekecil apapun di bumi yang tak bernilai fungsi. Dari batuan yang berfraksi-fraksi seperti jauh di atas ukuran 40 – 63 mm, ke bawahnya 20 – 40 mm, 10 – 20 mm, 5 – 10 mm, 0 – 10 mm, dan seterusnya, tanah, lumpur, air, atau pasir hingga filler – lolos saringan 0.075 mm – bahkan yang jauh lebih halus dengan tujuh saringan di bawahnya lagi ; 20 µmº, atau kita sering menyebutnya dengan abu abunya abu terbang, semua tersusun bersatu membentuk kekuatan bumi ini hingga melahirkan jalan beraspal, bangunan berbeton seperti layaknya bendungan, tol, jembatan dan sebagainya. Bahkan hingga pada bagian bumi yang lain, jika manusia bersedia meminang dan pandai mengolahnya, tanah-tanah itu sudah dipastikan akan melahirkan jutaan-jutaan trilyun kesuburan. Atau kalau Tuhan memberikan bocoran istilah kepada manusia menyebutnya dengan : Keberkahan.
Keberkahan bumi pilihan ini atas keMaha AdilanNya sudah dibagi-bagikan kepada manusia dengan menjadikannya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa hakikatnya tanpa pilih kasih. Masing-masing sudah dihitung dan dipertimbangkan-Nya sesuai dengan kadar kesanggupan dan kesediaan manusia itu sendiri. Tuhan sama sekali tidak menginginkan untuk membebani nasib manusia untuk sengsara dan terlunta-lunta tanpa kehormatan. Bahkan KTP untuk setiap manusia dari Tuhan semua dibuat sama merata nyaris tidak ada perbedaan. Semua berjudul sama : “Bahwa kamu Aku ciptakan adalah sebagai makhluk yang paling sempurna di muka bumi”. Dan tugas setiap manusia berikutnya yang diembankan Tuhan pun tak ada yang berbeda : “Khairunnas Anfa’uhum Linnas”- sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia. Tapi kenapa lantas manusia menjadi berklas-klas, berstrata dan merasa berbeda-beda? Padahal porsi akal dan pikiran yang dituangkan Tuhan untuk manusia berfungsi sama ? Ini adalah karena Kesanggupan menfungsikan akal dan pikiran dari masing-masing individu manusia itu berbeda kadar nilai guna dan implementasinya. Bagi yang pandai mengembangkannya, ia akan membentuk manusia luhur dan berfungsi cipta. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga alam di sekitarnya. Begitu bagi yang tak pandai menangkapnya, ia akan tetap menjadi manusia lemah-rendah dan tak berguna. Sangat tepat Tuhan mengandaikan manusia yang tak berkehendak memanfungsikan peran akalnya dengan baik adalah diibaratkan laksana hewan, bahkan lebih rendah dari hewan. Korelasi perbandingannya jelas, manusia dianugerahi Tuhan dengan akal yang tentu seharusnya jauh berilmu pengetahuan dalam mengolah alam semesta, sementara hewan tak berakal, maka ia berkehendak sesuai dengan naluri kebinatangannya semata, tanpa hukum dan aturan. Jadi kalau manusia sederajat dengan hewan hakikatnya adalah baladulluhum.
Seiring dengan perjalanan waktu, sejarah terus mengukir pembuktian bahwa manusia terus haus dengan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan baik cinta, kepuasan, kesenangan, keserakahan dalam sandang, pangan dan papan. Awalnya, Adam dan Hawa memang sangat leluasa menghuni bumi semesta, tak ada yang lain selain keduanya. Hingga lahirlah pemenuhan cinta untuk pertama kalinya yang mengantarkan keduanya berbelai kasih, merindu, dan menginginkan kemewahan keturunan untuk keduanya. Hingga lahirlah Habil dan Qobil. Terlalu luas bumi semesta hadiah Tuhan untuk keduanya. Sekenario kehidupan manusia di bumi pilihan, oleh Tuhan memang didesain dan diformat sedemikian rupa. Agar berlindung dari panas dan hujan Adam mulai berhitung untuk membangun rumah, mulailailah ia melakukan sejarah pengkaplingan bumi pilihan yang pertama kali. Satu dirak dua dirak dan seterusnya, sejengkal demi sejengkal dan seterusnya, sedepa demi sedepa dan seterusnya hingga orang-orang anak keturunan Adam menemukan standar ukuran berikutnya dengan meter, kilometer, centimeter, millimeter, micron dan yang lain.
Layaknya air, pengkaplingan-pengkaplingan terus merambat nyaris memenuhi bumi. Berjuta-juta orang mulai merasa mulai kehilangan keleluasaan dalam mendapatkan jatah kapling. Masing-masing kapling mulai diserifikat. Lantas mereka mengembangkannya dengan bangunan dan rumah-rumah megah, kebun-kebun berbuah, hingga area-area rekreasi, lapangan golf, dan perumahan-perumahan. Tak berhenti, manusia terus bertambah, otomatis, pemenuhan akan tanah pilihan pun terus bergerak melebar. Batas wilayah mulai dibuat line, antar desa antar kampung mulai dibuat gardu perbatasan, antar kota antar pulau mulai di buat jarak dengan suku, bahkan antar Negara mulai juga dibatasi dengan passport. Hingga manusia mulai sempit bergerak di bumi. Karena untuk memenuhi keinginan yang banyak mereka harus membayar dengan harga yang semakin mahal. Di bumi, nyaris tidak ada yang gratis. Bahkan di bawah guyuran jeram genung nan jernih, ramai orang-orang memperdagangkan air. Padahal dahulu, orang-orang kalau minum, cukup dengan air kendi yang langsung diambil dari sumur.
Ingat tentang kisah sejarah Majapahit, bagaimana Gajah Mada juga melakukan penundukan-penundukan dan perampasan-perampasan bumi pilihan dengan dalih politik nusantara. Atau pada sejarah penjajahan, betapa Belanda dan Jepang begitu antusias untuk memperkosa Indonesia. Tak ketinggalan Malaysia dan Indonesia menjadi sempat bergesekan karena saling klaim ambalat. Atau kejadian sebelumnya, Timor-timor melepaskan diri dari cengkeraman nusantara adalah juga karena pada dasarnya menginginkan kekuasaan atas kaplingan bumi pilihan. Semuanya ditempuh dengan harga yang mahal hingga darah dan nyawa. Pembunuhan dan tipu-tipu muslihat mulai terus merambat seperti menggergaji bumi. Antar manusia mulai saling tuding, saling curiga dan saling mempertahankan diri. Mulai untuk menjaga diri dan kehormatan, di rumah-rumah mereka mulai dipersenjatai dengan security, anjing-anjing penggonggong hingga kawat-kawat berlistrik. Manusia-manusia semakin tidak malu-malu melakukan kebiasaan tikam menikam. Ghibah dan makan bangkai saudara sendiri sudah menjadi gizi di setiap pagi bagi pemuja entertainment. Bumi pilihan kian menyempit. Jakarta penuh sesak dengan manusia. Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, terus berjibun orang-orang berebut ke kota. Masing-masing berjuang mendapatkan jatah bumi pilihan. Kadar keinginan mereka meskipun berbeda tapi prinsipnya tetap sama. Masing-masing berkehendak untuk kejayaannya.
Hari itu, terlihat tetangga sebelah, saling ribut dan saling serang. Suara yang muncrat dari mulutnya menjadi dahsyat tak selembut sebelumnya. Matanya merah menikam. Kata-katanya saling mengumpat dan menyemburkan ejekan-ejekan. Semua terjadi, hanya gara-gara tetangga sebelahnya terlalu lebih mengkapling tanah kekuasaaannya, hingga masuk menggerogoti ½ meter tanah punya tetangga.
“Lihat batasnya di sertifikat!” teriak tetangga sebelah murka.
“Batukmu…, kamu juga lihat sertifikat” timpal tetangga satunya tak mau kalah.
Bumi pilihan yang dihamparkan Tuhan untuk manusia sebenarnya masih sangat jauh teramat luas kalau hanya untuk sekedar menampung semua makhluknya yang bernama manusia. Tapi manusia sendiri yang justru membuatnya sempit. Mereka tak bisa berbagi rata. Keinginan untuk mendapatkan jatah yang terbaik selalu memenuhi nafsunya. Bahkan mereka hanya berkerumun di satu sudut kota. Perhitungan akan keramaian dan demi kepentingan bisnis untuk timbunan keuntungan selalu menjadi alternative utama. Sementara di tempat lain, untuk tanah nusantara saja, di belahan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, dan yang lain, teramat luas masih bentangan bumi Tuhan yang masih tersia-sia. Bahkan jika berani mengolah, kesuburan dan kemolekannya jauh bisa mengalahkan Jakarta.
Bumi pilihan terus menjadi rebutan. Timbunan orang-orang pada satu sudut kota bisa diukur dari besaran nomor kependudukan. Hingga tidak aneh, jika di satu sudut kota itu bumi pilihan mulai lahir penindasan, perampokan,pencurian, pembegalan, atau perampasan. Ketidak nyamanan hidup di kota terus menggelinding menjegal setiap kepribadian. Orang-orang lantas mendindingi pagar rumahnya setebal-tebalnya dan setinggi-tingginya. Kecurigaan antar tetangga di komplek-komplek perumahan mulai seperti kerajaan-kerajaan kecil. Semakin menyempit tingkat silaturrakhmi, hingga nama tetangga rumah sebelah sudah tidak kenal lagi. Masing-masing tinggal tersisa “say hello” bahkan nyaris sirna.
Di sinilah, di sebelah sudut kota yang jomplang dengan manusia, keramaiannya mulai menyempit menjadi keterasingan di kampung sendiri. Tak ada srawung dan tegur sapa. Masing-masing berlomba dan berebut untuk kepuasan pribadi. Keinginan untuk menjadi diri sendiri membesi, keras dan berkarat. Hingga sampai pada ujung waktunya. Saat Tuhan benar-benar memanggil kembali manusia satu-persatu untuk kembali kepadaNya. Hanya bisa didapatkan, bahwa yang siap menggali lobang kuburnya hanya satu orang, yang siap memandikannya hanya tiga orang, yang siap mengkafani hanya satu orang, yang siap menyolati hanya satu orang dan yang siap mengantarkan ke kuburan hanya lima orang. Dan mereka semua juga adalah keluarganya sendiri. Sampai tercapai kesendiriannya yang sebenarnya. Di dalam timbunan tanah itu; Sendiri !*** (mustaqiem eska/Karebbe Hydroelectric Project-Malili-Sulsel,25/7/09).

Aku mau disana

by: friday


sudah seminggu aku memandangi anak itu asyik saja mengangkat batu, mengocok semen, naik ke genteng dengan tangga, dan lain sebagainya dengan wajah riang dan tanpa beban
Aku yang asyik memperhatikan dari dalam rumah, merasa tersentuh dan tak dapat berkata-kata selain sangat prihatin memandangi dia dengan diam-diam. Rasanya aku ingin bertanya, mengapa jam sekolah seperti ini dia membantu bapaknya mengerjakan rumah kami yang sedang mengadakan rehab kecil-kecilan?. mengapa anak itu tidak di ruang kelasnya? Aku menduga-duga anak ini pasti berumur sekitar sepuluh tahunan.
Suatu sore sesudah selesai bekerja dari hari senin sampai hari sabtu, rasa penasaranku semakin tinggi. Aku memberikan upah mingguan bapaknya dan tidak memberikan apapun kecuali makan siang untuk anaknya. Karena aku merasa tidak pernah meminta anak itu untuk datang dan membantu bapaknya
"Ini ya pak, uang mingguannya, dipotong pinjaman bapak selama seminggu" aku berkata kepada bapak itu sambil memberikan kuitansi tanda terima upah kerja.
Bapak tua itu menerima dengan senang hati setelah membersihkan tanggannya yang kotor di bawah kran di tembok kami
"Pak ngomong-ngomong kenapa anak bapak ikut kerja, apa dia tidak sekolah?" tanyaku sambil menerima kuitansi yang sudah ditandatangani
"Oh, iya bu, soalnya tenaga saya kan sudah kurang, trus dia juga gak sekolah, jadi saya suruh bantu saya saja bu" katanya sambil tersenyum memandang kepada anak itu
"Loh, kenapa tidak sekolah?" tanyaku penasaran. "Masak anak seumur ini tidak sekolah pak, kan sekarang bayaran sudah murah dan wajib belajar sembilan tahun?'
"Murah sih, murah bu, tapi beli bajunya, beli bukunya, beli sepatunya, wah masih banyak pengeluaran bu,..." Dia garuk-garuk kepala
"Anak saya banyak bu ada delapan orang, jadi kakak-kakaknya yang sudah sekolah aja biar bisa nerusin, trus adiknya minta sekolah, nah dia mau ngalah, ya sudah dia bilang mau bantu bapak aja.... anak ini sudah tiga tahun bu gak sekolah" katanya sambil merapikan perlengakapan kerja didekatnya
"Wah jangan gitu to pak, anak anak harus diusahakan sekolah pak" kataku sambil duduk dikursi teras
"Ya iya bu, maunya sih begitu, tapi apa boleh buat, belum ada duitnya bu.." bapak itu kembali memasukkan barang-barangnya yang dipakai kedalam ransel tuanya.
"ayo kita pulang dul, bilang trimakasih sama ibu" bapak tua itu memberi kode kepada anaknya
"Trimakasih bu.." Dia menyapaku dan tersenyum
Ketika mereka akan keluar pagar, hatiku sangat tersentuh dan gelisah. Bayanganku tentang anak ini agar masuk sekolah semakit terlihat jelas. Aku harus mengatakan sesuatu
"Eh dul, kamu mau sekolah?" tanyaku kepadanya. Tiba-tiba dia terdiam dan menengok kepada bapaknya yang kelihatan capek.
"Mau?" tanyaku lagi. Dia kelihatan bingung. Sejenak dia memandangiku dan kembali memandangi bapaknya.
"Mau sih bu, tapi kata bapak kapan-kapan diterusin sekolahnya"
"Memangnya kamu berhenti kelas berapa?" Aku bertanya penasaran
"Kelas empat naik kekelas lima bu" jawabnya sambil menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal
"Begini dul, kalau kamu memang niat mau sekolah, mau nggak kita sama-sama membantu?" tanyaku sambil tersenyum. Aku merasa inilah jalan terbaik yang harus kutawarkan kepadanya
"Mau bu!" tanpa sadar suaranya agak keras sambil tersenyum
"Oh bagus dul, jadi kalau kamu mau ibu bantu, maka kamu juga harus bantu ibu dirumah... kamu tinggal disini bersama kami dan anak-anak ibu, nah kamu bantu ibu bersih-bersih rumah atau cuci mobil, nanti yang lain si mbok bisa kerjakan, jadi ibu tidak usah pakai dua pembantu, cukup kamu saja ikut ibu, sambil kita cari sekolah siang...bagaiman?" tanyaku kepadanya yang serius mendengarkanku
Sejenak terasa hening. Aku melihat ada cahaya di wajahnya yang lelah. Dia tersenyum kepada bapaknya.
"Bagaimana dul? kamu mau tinggal dirumah ibu Ida?" tanya bapaknya sambil terus memandangi anaknya yang kelihatan terharu.
"Iya pak, aku mau....tapi kan rapotku kebawa banjir" katanya perlahan kemudian terlihat ada kekhawatiran di wajahnya
"Oh, kalau rapotmu terbawa banjir, nanti kita lapor ya nak, kita bisa kesekolahmu yang lama, atau ke kantor yang bisa bantu kamu ya" Aku meyakinkan anak itu dan wajahnya kembali berseri.
Mereka meninggalkan aku dengan sikap yang berbeda dari biasanya. Nuansa sore itu terlihat indah meskipun hari semakin larut.
Beberapa hari kemudian, anak itu datang tanpa membawa peralatan kerja, karena memang tidak ada lagi yang perlu diperbaiki di rumah kami. Aku melihat mereka mengangkat tas, sepatu dan sendal yang mulai robek dan duduk di teras rumah kami.
"Wah sudah siap mau sekolah?" gurauku kepada mereka.
"Sudah bu, wong dia nggak bisa tidur hanya memikirkan mau sekolah katanya... tuh, bukunya yang sudah kumal juga semua dibawa bu..."
"wah, semangat mau sekolah ya... nah, sekarang kamu taruh dikamar yang sudah disediakn si mbok, besok kita cari sekolah disekitar sini, kita sama-sama mendaftar ya dul..." kataku sambil duduk di dekat dia.
"Trimakasih bu... sekolah saya yang dulu dekat kok disini, sekolah negeri, dan teman-teman saya yang dibawah saya juga masih disitu..." katanya sambil mengusap-usap tasnya.
"Oh bagus itu... kita besok kesekolahmu dulu ya... ayo pak diantar anaknya kekamar..." Aku meninggalkan mereka karena akan kepasar didekat rumahku
Kami sudah berada di sekolahnya yang lama sambil menunggu kepada sekolah keluar.Sementara kami menunggu, dul melompat kedalam dan memperhatikan teman-temannya yang dulu dibawahnya mengerjakan tugas. Anak itu sangat ingin tahu akan pelajaran yang dikerjakan teman-temannya. Ibu guru yang sedang mengajar kaget karena ia masuk begitu saja. Aku ingin melarang dul dan memintanya keluar, tapi guru itu kelihatan senang karena memandangi dul yang tiba-tiba ikut duduk dimeja temannya sambil mengikut pelajaran.
Aku tertegun...betapa tingginya semangat anak itu...
Sejenak tiba-tiba datang Kepala Sekolah menghampiriku diikuti beberapa guru disampingnya. Aku diajak keruangannya yang sederhana dan dipersilakan duduk bersama guru-guru yang lain.
"Ibu...kami sangat berterima kasih kepada ibu, yang sangat mendukung dul untuk bersekolah lagi..." Aku terkejut, karena ibu itu sudah mengetahui kedatangan kami
" Dul itu tetangga saya, dan orangtuanya sudah menceritakan kepada saya apa yang diinginkan dul selama ini. Sekarang anak itu pasti kami bantu....Terlebih, karena ibu saja yang berbeda agama, mau membantu anak itu,apalagi keluarga itu sangat sederhana... maka apalagi kami, akan mempermudah agar dia kembali sekolah, karena anak itu sangat pintar.... karena anak itu selalu berkata...aku mau disana, bukan disini...sambil dia menunjuk kesekolah kami ibu..." Aku terharu mendengar perkataan ibu kepala sekolah tersebut
"Ibu, kita saling membantu bukan harus memandang agama...tapi karena mereka adalah calon pemimpin dinegara kita ini..." jawabku
"Baiklah ibu, kita bantulah anak itu...anak yang punya cita-cita" Kataku sambil melangkah pulang dengan sukacita dihatiku. Aku berkata dalam hati, suatu saat ia akan menjadi salah satu orang penting! paling tidak dilingkukangannya fikirku..Ada kegembiraan dihati ini