CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Kategori

Sabtu, 18 Juli 2009

Stop Dreaming Start Action

by: firmansyaharia

Matahari bersinar pada pagi minggu ketiga bulan juli dipenuhi kedamaian, cahayanya masuk melewati jendela kamarku, memelukku dengan kehangatannya, memberikan harapan baru-impian baru. Pun aku tahu tak selalu harapan jadi kenyataan, tapi tanpa harapan manusia adalah makhluk tak bertujuan, terombang-ambing di samudera kehampaan.Harapan itu seperti cahaya di kegelapan, memberikan arah untuk melangkah agar tak salah, dengan harapan kita tak lagi jadi daun rapuh yang jatuh ke tanah dan linglung mencari rumah. Mungkin sebab itulah yang menjadikan ku lelaki dengan penuh impian, impian akan hari esok yang jauh lebih baik dari sekarang, dan hari sekarang yang jauh lebih baik dari esok.Dengan impian-impian itulah diriku terbentuk, tanpa harus menjadikan impian itu hanya jadi khayalan, seperti yang pernah teman ku bilang “jangan jadikan impian itu onani basi”, ya….. onani basi adalah membiarkan diri terjebak di impian-impian tanpa ada tindakan apa-apa, menjadikan impian itu hanya tong kosong yang nyaring bunyinya. Tentu, aku tak mau jadi orang merugi, orang yang hanya bisa bicara tanpa bisa beraksi, di saat itulah aku berteriak pada diriku sendiri “Stop DREAMING Start ACTION”.Maka dimulailah dengan melakukan pertanyaan kecil di kepala, membiarkan pertanyaan itu menari jalang dengan telanjang. Pertanyaan semisal, bagaimana menggapainya? langkah pertama apa yang mesti dilakukan untuk mencapainya?. Lalu menyusun rencana-rencana di sepetak kertas, menggoreskan segala macam cara untuk menghadapi setiap kemungkinan – baik atau buruk, disinilah aku mulai bermain dengan pertimbangan pertimbangan pada segala keuntungan dan segala kerugian, pada keberhasilan dan kegagalan, aku tak mau impian tentang keberhasilan membutakan, dan kegagalan menjadikan ku manusia pesimis.Setelah itu mulailah raga bergerak, siap dengan jari yang mengepal, meninju karang dengan garang, tak takut lelah dan tak mau menyerah.Jika, memang ternyata kejatuhan ada di depan, itu tak menjadikan ku manusia kalah karena yang jadi masalah adalah bagaimana kita berdiri lagi, bermimpi lagi dan bergerak lagi. Bagi ku jika kita berusaha maka akan selalu ada hasilnya, besar atau kecil itu tergantung dari bagaimana kita me-manage-nya, dan seberapa keras kita berusaha untuk mencapainya.Satu hal yang mesti diingat jika jatuh merengkuh “Jangan pernah salahkan siapapun akan kegagalan kita”. Menyalahkan tak akan memberikan jawaban, itu hanya akan membuat kita terjebak pada polemik salah dan benar, polemik berkepanjangan dan akan semakin menenggelamkan kita pada kegagalan (itulah yang menjadikan kita kalah), kita harus mengerti bahwa di setiap kegagalan di situ ada pembelajaran yang dapat menjadikan kita orang yang lebih baik dari kemarin. Mulailah mencari jawaban dari pertanyaan “bagaimana kita berdiri lagi? bergerak lagi?melaju lagi”, karena waktu terus berjalan maju, ia tak pernah mau menunggu.

Saat Matahari...

by: fitrawan umar

Terik. Panas. Debu. Itu yang harus kulalui setiap hari. Beranjak dari gubuk mulai pagi. Seterusnya hingga menjelang petang. Hidup memang penuh liku. Ada saja tikungan tajam yang mengahadang. Ada saja duri-duri dan kerikil tajam yang harus ditapaki. Seperti itu pula yang harus kujalani di jalanan ini. Bermodalkan mangkuk kecil, kubuang muka yang ada.O, kasihan anakku yang harus kubawa di kehidupan yang kejam ini. Maafkan aku nak. Apa lagi yang bisa kulakukan. Hanya ini yang bisa menghidupi kita. Ku tahu kau kepanasan. Tahanlah nak, ini tak lama.“Pak, .....”Hanya itu yang sering kuucapkan ke pengendara yang lewat di bawah lampu lalu lintas sembari mengajukan mangkuk kecil yang kupegang. Malu harus bilang apa, selain terima kasih kepada mereka yang kasihan melihatku.“Ini seribu, sana..sana....”Meski sakit terasa, kupasrah saja. Itu sudah sering kudengar. Ku tahu ia jijik melihatku.“Hei Bu, kerja dong.....jangan minta-minta melulu. Dasar pemalas.”“Orang seperti itu jangan dikasih uang, nanti tambah malas. Itu tidak mendidik.”Ku tahu, benar apa yang mereka katakan. Tidak mendidik memberi uang kepada pengemis sepertiku. Benar akan membuat orang semakin malas. Tapi kumohon, itu tidak denganku. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Benar, tak tahu apa yang harus kulakukan. Tuhan, hanya Engkau yang tahu apa yang harus kulakukan.Oh, anakku. Aku hanya bisa menutupi mata dan telinganya agar tidak ikut melihat wajah-wajah jijik yang memandangku. Bentakan-bentakan yang menghinaku. Tidurlah saja nak. Seribu rupiah lagi yang harus ibu cari untuk makan kita pagi ini. Berdoalah nak. Semoga ada yang ikhlas memberi kita sisa rezekinya. Tahanlah nak, ini tak lama.***Ibu. Sampai kapan kita begini. Sampai kapan kita dipanggang matahari setiap hari...Bukan ku bermaksud menyalahi takdir ibu. Bukan pula ku menyalahkan ibu yang membawaku di buruknya kondisi seperti ini. Aku hanya kasihan padanya. Meski ia berusaha menutupinya, ku tahu ibu tidak tahan dengan perlakuan orang-orang. Aku menyesal harus membuat ibu susah payah begini. Yang ia lakukan semata untuk membesarkanku.Kalau perutku lapar, aku berusaha menahan tangis. Sekuat tenaga, aku tak ingin ibu mengkhawatirkanku. Tak ingin ibu cemas. Peluh keringat di wajahnya, membuatku tak sanggup mengeluh perih kosongnya lambungku. Cukup senyum ibu yang menguatkanku.Andai ibu mau, aku juga bisa membantunya. Toh, pernah kulihat anak sepertiku bekerja seperti ibu. Minimal untuk membuatku bisa makan. Dan ibu pun tenang. Tapi ibu tidak mau. Aku tak boleh bekerja seperti itu. Itu hanya pekerjaan orang-orang malas dan yang memang tidak bisa lagi bekerja. Tapi aku tidak setuju. Ibu bukan orang pemalas. Setiap selesai shalat shubuh, ia segera menggendongku menuju tempat ini. Di bawah lampu lalu lintas. Berkilo-kilo jauhnya.Aduh, aku mulai tak tahan dengan laparku. Perutku terasa terkoyak-koyak. Kucoba tegar sekuat hati. Biasanya aku berusaha untuk tidur untuk melupakan sakit ini. Kali ini tidak. Tidur pun aku tak bisa. Oh, anak seusiaku masih sulit menahan derita seperti ini. Maafkan aku ibu. Aku menangis.***“Sabar ya sayang.....sebentar lagi kita makan.....”Oh, Tuhan...rahmatilah kami. Kasihanilah anakku. Kalau sudah begini, aku semakin aktif meminta belas kasihan. Semakin sakit pula hati ini.“Maaf Pak.........anak saya belum makan, kasihani kami..”“Hei, kau tidak baca spanduk di sana.” Bentak istrinyaJANGAN MEMBERI UANG DI JALANANBerkali-kali kubaca spanduk itu. Pak Gubernur yang menginstruksikannya. Memang, sekali lagi kuakui aku salah. Tapi aku tak peduli dengan spanduk itu. Peduli apa gubernur dengan orang sepertiku. Melarang orang meminta-minta di jalanan, tapi tidak memberi solusi yang pasti.Dulu pernah aku diamankan. Katanya untuk diberi keterampilan. Tapi apa? Hanya celaan yang kudapatkan. Meskipun nantinya aku punya keterampilan, siapa yang mau beli hasilnya? Atau siapa yang ingin mempekerjakanku? Mereka jijik melihatku.Ya, ini yang harus kukatakan. Aku menderita kusta. Penyakit yang paling dibenci kebanyakan orang. Setiap langkahku, dijauhi orang. Pandangan yang mengarah padaku adalah pandangan muak. Jijik. Entahlah. Aku bagaikan terisolasi sendiri dalam luasnya dunia. Kehadiranku menggelisahkan banyak orang. Orang senang jika aku pergi.Pernah, di awal-awal menjalani pekerjaan ini, aku selalu naik angkutan umum menuju tempat ini. Aku sisihkan dua ribu rupiah tiap hari untuk naik angkutan esoknya. Tapi kemudian, perlahan aku mulai dikenal sebagai orang berpenyakitan. Orang-orang mulai risih jika aku duduk di dekatnya. Hingga tak ada lagi supir yang mau mengangkutku. Akhirnya jalan yang berkilo-kilo ini harus kutempuh dengan berjalan kaki.Hal-hal seperti itu tentu wajar untuk dimaklumi. Tak ada yang mau ditulari penyakit seperti ini. Tapi, mereka lupa, penyakit TBC justru jauh lebih berbahaya dan sangat mudah menular. Bersin dan batuk sedikit, penyakit itu bisa dengan mudah menular ke orang lain. Mengapa mereka tidak menjauhinya. Atau mengapa orang yang mengidap penyakit AIDS dikampanyekan untuk tidak dikucilkan. Bukankah penyakit itu adalah azab dan bencana akibat perbuatan biadab mereka. Lalu aku? Dosakah ini? Percuma!Suamiku pergi entah kemana. Menghilang. Tak ada yang ditinggalkan untuk istri dan anak-anaknya. Tak ada harta sepersen pun. Inilah beban hidup yang harus kujalani.Oh, anakku masih tersedu-sedu. Bisa kurasakan betapa perihnya yang ia alami. Tubuhnya semakin kurus saja. Aku merasa berdosa. Seharusnya ia sekarang tengah bermain-main dengan anak seusianya. Bahkan merasakan indahnya taman kanak-kanak, belajar sambil bermain. Tapi aku tak bisa itu. Anakku terpaksa kubawa di tempat peraduan ini.“Dek, kasihan anakku belum makan...” lirihku pada anak muda yang berseragam putih abu-abu itu. Wajahnya berseri. Bercahaya. Seolah tak ada penderitaan yang pernah ia rasakan. Beda denganku, kusut.“Ini Bu, ini untuk makan ibu dan anaknya ya...” Syukurlah ya Allah, alhamdulillah akhirnya anakku bisa juga makan hari ini. “Dan ini untuk besok. Minimallah besok ibu tidak mengemis lagi sehari.” Lanjutnya lagi.Alangkah indahnya manusia seperti itu. Aku bahkan malu pada diriku, hanya bisa memanfaatkan kebaikan orang lain.***Alhamdulillah. Akhirnya ibu membelikanku juga makanan. Nasi putih dan ikan. Itulah makananan kami sehari-hari. Saat-saat makan kuanggap anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepadaku. Betapa nikmatnya. Perut yang tadinya meronta-ronta terisi satu per satu nasi. Ya, akhirnya.Kulihat wajah ibu. Peluh keringat masih menempel di wajahnya. Dengan lahap ia menikmati menu makanannya. Aku bisa merasakan kebahagiaan di matanya. Aku tak pernah tahu mengapa ibu hidup seperti ini. Yang kutahu ibu hanya mempunyai penyakit sedikit di tangan kirinya. Semenjak ayah pergi, ibu tak pernah lagi mengobati penyakitnya itu.Huh, sejauh ini yang kunamai hidup adalah bagaimana kita bisa makan setiap hari. Apalagi. Sudah terlalu beruntung kalau kami makan dua kali sehari. Biasanya cuma sekali sehari. Di saat matahari tepat di atas kami..
Makassar, 8 Februari 2009

One days left

by: srisulistiana


"Lebih, baik kita cerai saja!!!!!
”“ DEEENG ” Kepalaku terasa kosong mendengar perkataan ayah itu, Akhirnya pertengkaran panjang ini akan segera berakhir, jujur aku sedikit lega mendengar keputusan papa itu mungkin cerai adalah pilihan yang terbaik untuk kami. Papa, mama dan aku. Aku bosan setiap pagi harus mendengar teriakan pertengkaran mereka, aku bosan setiap pulang sekolah mendapati mereka sedang bertengkar hebat dan melampiaskan pada banyak barang elektronik di rumah, terlebih lagi saat malam hari sehingga membuatku sulit memejamkan mata dan ujung – ujungnya aku sering terlambat ke sekolah. “ Dinda!”Aku menoleh, saat itu aku berniat mencari udara segar di luar, sebab bagiku udara di rumah ini sudah terkontaminasi dengan hawa kebencian dan kemarahan sehingga membuatku pengap. “ Ada apa” Jawabku singkat, padat dan jelas “ Mama dan papa memutuskan untuk…..” “ Aku tau, Jadi sekarang mau kalian apa?” “ Kamu harus pilih, antara mama dan papa, kamu mau ikut sama siapa?”Mataku terbelalak, aku sama sekali tidak menduga sebelumnya akan muncul pertanyaan seperti ini. Aku harus menjawab apa? Aku bingung? Walau bagaimana pun mereka adalah orang tuaku, kalau harus memilih harus tinggal sama siapa aku mendingan tidak tinggal dengan kedua duanya. “ Aku tidak bisa,” Jawabku memecah kehenian “ Maksud kamu apa, nak?” Tanya papa, wajahnya kelihatan bingung“ Kalau harus memilih seperti ini, aku tidak bisa. Aku lebih baik tinggal sama nenek,” Jelasku lagi, lalu segera pergi dari hadapan mereka berdua.………………………….Hari ini, aku berada di sidang orang tuaku.Aku sedih karena sebentar lagi aku akan berpisah dengan mereka. Begitu palu hakim itu diketuk aku akan resmi menjadi anak yatim piatu tanpa mama dan papa. “ Dinda, kamu beneran tidak mau memilih salah satu di antara kami?” Tanya mama begitu sidang telah selesai. Wajahnya terlihat cemas.“ Ma, dinda tidak mau mengganggu mama dan papa lagi. Kalau tidak ada dinda, mama dan papa kan bisa membuat keluarga yang baru, yang lebih bahagia. Iya kan?”Mama menunduk, mungkin kata – kataku terlalu keras baginya. Tapi, akhirnya dia bisa menerima. Dan akhirnya aku benar – benar terpisah dengan mereka. Untuk terakhir kalinya, mama, papa, dan aku pergi ke rumah nenek yang berada di desa. Sebenarnya aku merasa senang, entah sudah berapa lama aku tidak merasakan suasana seperti ini. Walaupun yang terakhir, tapi aku senang bisa berkumpul dengan mereka. Kira – kira 3 jam berlalu sejak aku berangkat dari kota, kini aku telah berada di sebuah desa kecil yang indah. Hmm, pemandangan desa ini sangat indah. Waktu kecil aku pernah kesini dan aku tidak menyangka desa nya tetap seperti dulu. Tidak berubah. “ Nak, Mama..sudah bicara dengan nenek..Katanya, kamu boleh tinggal disini,” Mama tiba – tiba muncul di belakangku.Aku menoleh tapi tidak menjawab satu kata pun. Aku hanya diam menatap mama. “ Nak, kamu benar – benar yakin dengan keputusanmu?”“ Ma, aku yakin. Lagian kasian nenek, dia kan sudah tua. Kasihan kan kalau dia tinggal sendiri,”Kali ini mama tidak mendesakku lagi. Dia menatapku dengan tatapan sedih dan penuh pengharapan, mungkin dia masih berharap kalau aku aku ikut dengannya. “ Nak, mama pergi dulu. Kamu jaga diri baik – baik ya?”Aku tidak kuasa menahan air mata ini. Tapi, aku tidak mau menangis di depan mama, Aku tidak mau kelihatan seperti anak yang cengeng, aku harus kuat. Aku harus siap menghadapi kehidupan baruku disini.……………………………….. 1 tahun sudah aku tinggal didesa ini. Dan aku sama sekali tidak betah tinggal disini. Nenek yang selalu mengaturku seperti anak tk, teman – teman sekolah yang selalu ingin tau urusanku, bahkan seorang cowok tetangga yang selalu membuntuti ku kemanapun aku pergi. Jujur Aku tidak suka disini!. “ Nak, kamu mau pergi kemana?” Tanya nenekAku tidak menjawab. Aku bosan menjawab pertanyaan yang sama terus setiap hari. Apa nenek tidak melihat aku memakai seragam sekolah. Disekolah pun keadaan tidak lebih baik dari di rumah. Teman – teman selalu berusaha mendekatiku. Dan selalu ingin tau urusanku. Apa mereka tidak lihat aku ingin sendiri. “ Din, kamu mau tidak ikut dengan kami ke rumah fena,” Tanya anak berpenampilan cupu bernama astuti. “ Tidak, Lagian untuk apa juga aku kesana,” “ Begini din, Fena baru aja beli telpon genggam baru di kota. Dan dia ingin mmperlihatkannya pada kita,” Anak lain yang bernama ani melanjutkan.“ Kuno banget sih kalian, hp baru aja dipamer,” Aku langsung pergi meninggalkan mereka yang masih menatapku dengan tatapan antara kecewa dan sedih.Bel pulang sekolah berbunyi. Inilah saat yang aku tunggu – tunggu. Rasanya tidak tahan kalau terus berada bersama sekumpulan orang – orang cupu ini.Saat pulang sekolah aku tidak langsung pulang kerumah, aku selalu mampir ke danau yag berada di ujung desa. Mungkin, danau inilah satu – satunya tempat terkeren di desa ini. “ Ma, pa.. Kenapa kalian tidak pernah menghubungiku. Apa kalian sudah punya keluarga baru, apa kalian sudah lupa sama aku,” Tanpa terasa air mataku menetes.Aku tidak tahan kalau harus terus hidup di desa ini. Bisa – bisa aku menjadi orang cupu seperti mereka. Disini, aku benar – benar terisolasi dari dunia luar. Aku tidak tau perkembangan dunia diluar sana. Disini, aku bahkan tidak tau hp keluaran terbaru. “ Hey, melamun aja ni,”Aku menoleh, melihat seorang cowok berpakaian sederhana di belakangku. Dia lagi – dia lagi, apa tidak bosan selalu membuntuti aku. “ Mau apa?” “ Kamu ini kok pemarah sekali sih, Aku hanya mau berteman sama kamu,” “ APA?”Tidak.tidak, aku tidak boleh punya teman dari desa ini. Nanti aku ketularan deh ama mereka. Aku harus sabar, nanti kalau sudah tamat sekolah aku akan langsung pergi dari desa terpencil ini. “ Mau kan?” Tanya nya lagi. “ Oke, tapi kamu harus jawab dulu pertanyaanku,” “ Apa itu, pasti kujawab,” Jawabnya yakin. “ Apa hp yang paling terkenal sekarang? Apa laptop yang paling mahal sekarang? Siapa presiden Indonesia sekarang?”Cowok itu terdiam. Dia bingung. Ya, tuhan presiden sekarang saja dia tidak tau. Seterpencil inikah desa ini?“ Pertanyaan seperti ini saja kamu tidak bisa jawab, gimana bisa jadi temanku. Kalau kamu sudah dapat jawabannya baru aku mau mau jadi teman kamu,”Cowok itu terdiam. Dia menatapku dengan tatapan kecewa dan tiba – tiba langsung pergi meninggalkanku. Di rumah keadaan menjadi lebih buruk. Nenek langsung menjatuhi sejuta pertanyaan yang membuatku malas menjawabnya. “ Dari mana? Kok malam begini baru pulang?” “ Dari sekolah, tadi ada kegiatan makanya telat pulang,” Aku terpaksa berbohong. “ Kamu tidak bohong kan?” “ Tidak..Mana makanannya aku lapar!”Tempe, tahu, dan sagu. Makanan yang sama lagi. Jujur, disini aku makan nasi hanya sebulan sekali. Huh, gimana bisa sehat kalau Cuma makan sagu. Burung juga tidak mau makan makanan menjijikan ini. Tapi, daripada kelaparan. Aku terpaksa harus memakannya. Butuh perjuangan berat untuk menghabiskan sepiring makanan ini. Sebelum tidur, kuperhatikan ayat suci yang berada di di dinding – dinding kamar.Aku jadi malu pada diriku sendiri. Sudah lama sekali aku tidak membaca ayat suci itu. Mungkin kehidupanku sekarang adalah balasan dari tuhan karena aku sudah lama melupakanNya.…………………….. “ Dinda, kamu tidak boleh pergi. Kalau kamu pergi nenek ikut,”Selama ini aku sudah berpikir kalau nenek sudah pikun, tapi kali ini aku benar – benar yakin kalau nenek sudah benar – benar pikun. Gimana nih? Masa aku mau bawa nenek – nenek ke sekolah? “ Ta..tapi, nek,” “ Kamu pasti bohong, bilangnya mau sekolah, taunya pacaran iya kan?”Apa?. Nenek.. nenek, kenapa sih bisa punya pikiran seperti itu, lagian jangankan pacaran, berteman saja aku tidak mau sama orang di kampung ini. “ Nek, mana mungkin itu terjadi,”Cukup lama aku berdebat dengan nenek. Sampai akhirnya nenek yang menang. Dan sekarang aku benar – benar telah melakukan hal yang paling bodoh seumur hidupku. Membawa nenek – nenek ke sekolah. Tebak, siapa yang berani melakukan ini. “ O, pantesan aja dinda gak mau berteman sama kita, rupanya dia maunya temenan sama nenek – nenek,” Seru cowok berpenampilan super berantakan begitu aku memasuki kelas.Mendengar suara cowok itu, kontan seluruh kelas tertawa. Aku jadi ingat saat aku sekolah di kota dulu. Saat Ani membawa adiknya ke kelas, aku lah yang paling keras tertawa. Sekarang aku juga merasakannya. “ Ternyata orang sombong ini gemar sama nenek - nenek,” anak yang lain balas mengejekku. “ Di rumahku juga ada nenek – nenek lo, kalau kamu mau datanglah bermain dengannya,” lanjut anak yang lain.Suara tawa anak – anak itu menjadi lebih keras. Ya tuhan, aku malu sekali. Sekarang wajahku pasti sudah kayak kepiting rebus. Aku tidak tahan lagi. “ Hey, mau kemana kamu anak sombong, jangan tinggalin tuh teman kamu,”Aku tidak mau lagi disini, aku tidak tahan, desa ini memang bukan tempat untukku. Rasanya aku sudah tidak punya muka lagi untuk ke sekolah apalagi pulang ke rumah. Aku mau mati saja. “ Mati, ya. Lebih baik aku mati saja. Tidak ada lagi alasanku untuk hidup,”Kupercepat langkahku menuju ke tabib di desa ini. Aku mau minta racun, mungkin terlihat aneh, tapi, mungkin inilah keputusan yang terbaik untukku.……………………… “ Kamu yakin?” sang tabib mengeryutkan keningnya yang berwarna putih. “ Iya, pak. Aku sudah tidak tahan lagi hidup di dunia ini,”Sejenak tabib itu terdiam. Lalu kemudian dia tersenyum, “ Baiklah,”Tabib itu memberikan sebuah ramuan aneh. Katanya kalau aku minum obat itu, aku hanya akan bertahan hidup 1 hari. Awalnya aku sedikit ragu. Tapi, mengingat perlakuan teman – temanku tadi rasanya aku ingin cepat – cepat meneguk obat itu. “ minumlah obat itu nanti malam sebelum tidur, dan waktu hidupmu hanya tinggal 1 hari,” “ Baik, pak,”Setelah mengucapkan terima kasih aku pun pergi meninggalkan tempat itu. Untung saja tabib itu tidak meminta bayaran sepeser pun. Karena kalaupun dia minta bayaran, aku juga tidak punya uang untuk membayarnya. Di perjalanan pulang, aku bertemu lagi sama cowok aneh yang suka mengikutiku itu. Wajahnya terihat penuh kemenangan saat menghampiriku. “ Hey, aku sudah tau jawabannya,” sahutnya sambil nyengir. “ Jawaban apa?,” tanyaku bingung. “ Itu, pertanyaan mu yang kemarin. Aku bisa jawab sekarang,”Orang ini benar – benar aneh. Apa dia tidak tau kalau pertanyaan yang kemarin itu hanya sekedar penolakan secara halus. “ maaf,” sahutku ketus “ aku tidak punya waktu, lebih baik simpan jawaban itu untuk dirimu sendiri!,”Aku pergi meninggalkannya. Untung saja kali ini dia tidak mengikutiku. Mungkin dia sudah menyerah. Baguslah, biar sisa hidupku ini aman tanpa dia.…………………… Sudah malam, hari ini untuk pertama kalinya nenek tidak bicara satu kata pun padaku. Apa nenek merasa bersalah ?. Huhh, kasihan nenek. Kalau aku meninggal, dia akan sendirian lagi. Sudah ah, aku tidak boleh membatalkan niatku. Kuperhatikan botol kaca kecil di tanganku. Apa aku harus meminumnya?.“ TOK TOK TOK ” pintu diketuk saat aku hendak membuka tutup botol racun itu.Aku tidak menjawab, pura – pura tidur.“ Dinda, maafkan nenek. Ini semua nenek lakukan karena nenek sayang sama kamu,”Aku terdiam, benarkah apa yang dikatakan nenek?. Dia sayang sama aku, tapi bukannya tadi dia sudah membuatku malu dihadapan teman – teman. “ nek…” Sahutku pelan, memastikan nenek tidak ada lagi di depan pintu.Tidak ada jawaban. Sekarang aman. Aku bisa meminum racun ini sekarang. Kubuka utup botol itu, dan meneguknya perlahan –lahan. Seteguk, dua teguk dan akhirnya habis. Ukkhh, obat ini pahit sekali. Dan tiba – tiba aku merasa mengantuk……………………… Untuk pertama kalinya sagu terasa sangat nikmat bagiku. Mungkin karena inilah makanan terakhirku di dunia. Besok aku telah tiada. Rasanya sedih juga. “ Nak, kamu masih mau,” sahut nenek menawarkan semanguk penuh sagu. “ Tidak nek,” “ Nenek senang hari ini kamu sangat ceria, maafkan nenek atas kejadian kemarin ya?” “ Kemarin? Oh, aku udah lupain tuh. Oh iya nek aku pergi dulu ya ke sekolah”Aku menciumi tangan nenek, pertama kalinya kulakukan sejak aku tinggal disini. Seperti yang kuduga, teman – teman masih belum bisa melupakan kejadian yang kemarin. Mereka terus saja mengejekku. “ Teman – teman maafkan aku, mungkin selama ini aku sombong sama kalian. Maafkan aku,” Teriakku saat tawa teman – teman sekelas mulai menyeruak.Mereka langsung terdiam, menatapku tidak percaya. Aku senang akhirnya kuutarakan juga hal itu. Aku tidak mau mempunyai musuh saat aku meninggal nanti. “ Kamu. Beneran?” anak yang kemarin duluan mengejekku pertama bicara. “ Iya, aku.. aku ingin berteman dengan kalian semua sebelum aku ma….,”Uppps, hampir saja keceplosan. Aku tidak boleh mengatakan hal ini duluan, biarlah besok mereka mengetahuinya dari nenek. “ Ma. Apa?” Astuti bertanya “ Ma..manyesal,” sahutku berusaha menjawab “ Lho? Bukannya menyesal?” anak yang lain menimpali. “ I..iya, maksudku itu,”Anak – anak lain langsung tertawa mendengar jawabanku. Aku pun ikut tertawa, Sudah lama aku tidak tertawa seperti ini sama teman – teman, rasanya menyenangkan sekali. Aku bahkan hampir lupa kalau aku akan meninggal besok. Sekolah usai, untuk pertama kalinya aku merasa waktu di sekolah sangat singkat. Hari ini benar – benar menyenangkan. Saat aku dalam perjalanan pulang, aku mendapati cowok aneh itu sedang duduk termenung di pinggir danau. Aku memutuskan menghampirinya. “ Hei!!,” sahutku sambil menepuk pundaknya.Ia menoleh. Wajahnya terlihat bingung dan terkejut saat menatapku. Sesekali di kucek – kuceknya matanya untuk memastikan. “ I..ini beneran kamu?” “ Kenapa sih, kayak aku ini artis saja,”Ia tersenyum. Untuk pertama kalinya aku melihat senyumannya, cowok ini manis juga. Tidak kalah sama cowok – cowok di kota. “ Aku mau minta maaf,” “ Maaf ? Memangnya kamu salah apa?” Tanya nya bingung. “ Selama ini, aku sudah sombong sama kamu. Makanya aku..,” “ Oh.. aku udah lupain tuh, oh iya aku sudah tau jawaban dari pertanyaan mu,” “ Oh ya?” “ Hp termahal sekarang nokia, laptop termahal sekarang computer, dan presiden Indonesia sekarang SBY, iya kan?” “ Jawaban kamu hanya satu yang benar, hahahahaha,” “ Yaa, ayahku salah dong memberikan jawaban,”Kami berdua tertawa bersama. Lalu kemudian cowok itu terdiam dan menatapku. “ Hei, aku tau kamu memang cantik tapi kamu menjadi jauh lebih cantik kalau tertawa seperti itu,”Wajahku memerah, Aduh kenapa denganku. Jantungku berdegup kencang. Mungkinkah racun itu mulai bereaksi? “ Oh iya aku belum tau siapa namamu?” “ Aku Dinda,” “ Aku Rio, salam kenal,”……………………. Hari sudah malam. Aku mengambil air wudhu dan menjalankan sholat isya bareng nenek. Aku sudah lupa cara wudhu dan gerakan sholat, tapi dengan sabar nenek mengajariku. Aku tidak tau, kalau sholat dapat membuat jiwaku setenang ini. “ Ya, tuhan..Terima kasih telah memberikan hari terakhir yang indah untukku, tapi tuhan kalau aku boleh memohon, bolehkah aku tetap hidup besok dan seterusnya. Aku tidak ingin mati ya tuhan, aku ingin terus hidup menemani nenek dan memperbaiki kehidupanku yang dulu,” Sahutku dalam hati.Setelah sholat, aku mencium tangan nenek dan beranjak ke kamarku. Sebelum tidur, bayangan akan kejadian hari in teringat lagi olehku. Kenapa, perasaan bahagia ini menjadi yang pertama dan terakhir untukku. Ya tuhan, semoga besok aku masih bisa merasakan kebahagiaan ini, amin!………………….. Keesokan harinya aku terbangun dengan perasaan segar. Lho? Aku masih hidup? Kok bisa?. Rasanya tidak percaya kalau aku masih melihat dunia ini. “ Dinda, sarapan sudah siap. Kamu mau tidur sampai kapan?” teriakan nenek membuatku benar – benar yakin kalau ini bukan mimpi. Ini nyata! Aku masih hidup!Hatiku terus bertanya – Tanya mengapa racun itu tidak bekerja? Untuk menuntaskan rasa penasaran ini aku kembali mengunjungi rumah tabib itu. Aku terpaksa membolos. “ Apa? Jadi itu bukan racun?” “ Iya, itu hanya obat herbal biasa,” ujar tabib itu “ Kok bisa,” “ Kurasa kamu tau jawabannya,”Otakku menimbang – menimbang perkataan kakek itu, dalam hati aku bersyukur kalau aku belum mati. Aku bersyukur, aku masih bisa merasakan indahnya kehidupanku sekarang. Kakek ini benar, coba kalau dia berikan aku racun beneran aku pasti akan mati sia – sia. Bukannya bunuh diri itu dosa? “ Terima kasih kek, sekali lagi terima kasih,” “ Mulai sekarang kamu harus lebih menghargai hidup,” “ Iya,” Beberapa bulan berlalu sejak kejadian itu, hidupku benar – benar berubah sekarang. Teman – temanku sangat baik padaku, Nenek sangat sayang padaku, dan hal yang paling membuatku bahagia adalah papa dan mama rujuk lagi, dan mereka kembali mengajakku untuk tinggal bersama mereka, tetapi aku tidak bisa menerimanya karena… “ Kalau kamu mau pergi, pergilah! Bukannya itu yang sangat kamu impikan,” “ Tapi,”“ Jangan khawatir, nanti kalau udah lulus sma aku bakal ke Jakarta buat lanjutin sekolah,” Ujar rio sambil tersenyum “ baiklah, tapi kamu janji ya,” “ Iya, aku janji,”Aku memutuskan untuk balik lagi ke kota. Rasanya sedih juga harus meninggalkan tempat ini. Tempat yang mengajariku cara untuk lebih menghargai hidup. Tapi, aku juga senang bisa berkumpul lagi sama mama dan papa. Kupikir selama ini mereka melupakanku. Ternyata, pengalaman itu memang guru yang terbaik. Ia mengajariku ujian terlebih dahulu baru kemudian pelajarannya..

Bagun Pagi

by: moulthe13th


“Tiiin.....tiin....” bising sekali suara klakson mobil bersahut sahutan. Keringat semakin banyak membasahi wajah dan kemejaku. Bukan hanya karena panasnya udara di dalam metro mini yang penuh sesak dijejali penumpang tetapi juga karena aku sedang dilanda kecemasan tingkat tinggi. Hari ini aku mendapat panggilan kerja dan akan menjalani serangkaian tes seleksi calon pegawai. “Aku harus mendapatkan pekerjaan ini” aku mengingatkan diriku sendiri sembari menyeka mukaku yang dibanjiri peluh dengan sapu tangan ku. Jarang-jarang aku mendapat kesempatan mengikuti tes seleksi karyawan, sebagian besar aplikasi yang aku masukkan tidak pernah mendapat jawaban dari perusahaan. Karena itu aku harus benar-benar memanfaatkan peluang ini, terlebih lagi, perusahaan yang memanggilku ini adalah sebuah perusahaan besar yang tentu saja sangat baik untuk masa depanku dan keluargaku.
Aku harus menempuh perjalanan jauh dari rumahku di timur Jakarta menuju kantor tersebut di bilangan Jakarta Selatan. Dalam waktu normal aku bisa menempuhnya dalam waktu 1,5 jam saja, tetapi apakah aku bisa sampai di sana tepat waktu jika aku sudah terjabak macet yang separah ini? Harusnya aku bisa menghindari kemacetan ini jika aku tadi berangkat lebih pagi dari rumah. Tidak mengapa jika aku harus tiba di sana lebih awal dan menunggu sendirian di sebuah tempat asing dari pada aku telat dan bisa menghancurkan semua harapan ini. Bukan hanya harapanku, tetapi juga harapan keluarga ku.
Jengkel sekali aku pada diriku sendiri. Kumaki-maki diriku yang tidak bisa menghargai waktu dan selalu menganggap gampang. Kenapa juga tadi pagi setelah shalat Subuh aku tidur lagi. Walaupun cuma 15 menit tetapi akibat yang ditimbulkan sungguh-sungguh sangat mengkhawatirkan. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 08.15 menit, padahal tes dimulai pada pukul sembilan dan sampai saat ini belum separuh perjalanan ku lalui. Jantungku berdegup semakin kencang dibarengi dengan semakin membanjirnya peluhku setiap kali aku melihat jam tanganku. Andaikan aku tadi tidak tidur lagi setelah shalat Subuh dan langsung mandi. “Mungkin aku tidak akan mengalami hal seperti ini” gerutu ku dalam hati dengan muka yang bersungut-sungut. Sesaat kemudian aku tersenyum getir “bukannya kamu sudah biasa seperti ini? Bukankah memang kamu selalu menganggap gampang sesuatu dan tidak pernah bisa menghargai waktu? Sudah berapa kali kamu berada dalam situasi seperti ini?” Kurebahkan badanku ke sandaran kursi metro mini yang sempit dan keras ini. Iya, ini memang salah ku, kesalahan yang terus saja berulang. Setiap aku mengalami saat-saat seperti ini aku selalu marah-marah kepada diriku sendiri dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tetapi pada kenyataannya tetap saja kejadian seperti ini berulang dan terus berulang. Aku merasa susah sekali membuang kebiasaan burukku ini walaupun aku sangat-sangat menyadari bahwa kebiasaan burukku itu banyak membawa kerugian terhadap diriku sendiri.
Sampai kapan aku akan terus mengikuti dan melayani kebiasaan-kebiasaan burukku ini? Selama aku tidak bisa membuang kebiasaan-kebiasaan burukku, maka selamanya aku tidak akan bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Karena kebiasaan-kebiasaan burukku akan terus dan terus menghambatku dari hari ke hari. Memang benar kata-kata bijak yang mengatakan bahwa “Musuh Terbesar bagi Kita adalah Diri Kita Sendiri”. Bagaimana aku akan mengalahkan pesaing-pesaingku dalam tes nanti jika aku tidak bisa mengalahkan kebiasaan burukku? Aku memang harus bisa berubah, meskipun terlihat sepele tetapi sesungguhnya sangat berat untuk melaksanakannya. Aku harus membulatkan tekad dan niat agar aku bisa benar-benar membuang kebiasaan burukku ini. Semoga kali ini niat dan tekadku tidak hanya menjadi niat dan tekad belaka seperti sebelum-sebelumnya...Semoga...